BATAM – Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terkait renovasi dan pembangunan baru Gereja Paroki Santo Joseph Karimun digugat kelompok massa di Karimun. Mereka menentang renovasi gereja yang berada di tengah kota itu.

IMB yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Pemkab Karimun melalui instansi perizinan di kabupaten itu digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). IMB itu sebelumnya dikeluarkan Pemkab Karimun bernomor 0386/DPMPTSP/IMB-81/2019 tertanggal 2 Oktober 2019.

Proses gugatan PTUN saat ini sedang berjalan dan menunggu hasil. Sementara itu pihak terkait akhirnya sepakat agar aktivitas pembangunan gereja dihentikan sementara hingga putusan PTUN keluar.

Dari pertemuan Bupati Karimun, Aunur Rafiq dengan berbagai pihak termasuk perwakilan pengurus gereja, dihasilkan beberapa kesepakatan pada Selasa (11/2/2020) lalu.

Ada hal menarik dalam point ke tiga disebutkan, bupati sudah menyampaikan usulan Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) dan Aliansi Peduli Kabupaten Karimun (APKK) terkait usulan relokasi gereja dan menjadikan bangunan gereja bersejarah itu sebagai cagar budaya.

Terkait hal ini, Halili, Direktur Riset Setara Institute–LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik, dan HAM, menganggap itu “bukan solusi yang adil” dan “sama saja memaksa untuk tunduk pada narasi kerukunan” yang berpihak pada kelompok mayoritas.

“Itu mayoritarianisme dan mayoritarianisme sebagai pendekatan untuk meresolusi konflik atau ketegangan yang berkaitan dengan tempat ibadah minoritas itu tentu pendekatan yang tidak tepat karena warga negara apa pun kelompoknya, punya hak yang sama,” ujar Halili dilangsir Batamnews dari BBC News Indonesia, Kamis (13/2/2020).

“Maka ketika negara menawarkan resolusi berupa relokasi tempat ibadah kelompok minoritas, maka sesungguhnya alternatif solusi seperti demikian itu tidak adil bagi yang sedikit, sama saja memaksa mereka untuk tunduk pada narasi kerukunan, toleransi dan harmoni yang dibangun pemerintah yang memang berpihak pada kelompok mayoritas,” kata Halili.

“Yang paling pokok kita temukan ada isu regulasi,” ujarnya

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah menurutnya jusru menjadi salah satu akar masalah pendirian tempat ibadah. Menurutnya, regulasi tersebut harus direvisi.

“Kalau tidak direvisi PBM itu akan menjadi dasar legal bagi gerombolan-gerombolan intoleran untuk menolak, melakukan resistensi atas tempat ibadah minoritas yang mereka tidak setujui,” tegasnya.

Alasan renovasi total

Sebelumnya renovasi total gereja yang berdiri sejak 1928 itu dilakukan karena kapasitas gereja itu dianggap sudah tidak memadai untuk menampung umat Katolik di wilayah itu. Umat Katolik yang terdaftar mencapai 700 orang, sementara kapasitas gereja itu hanya 100 orang.

Kelompok warga Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menolak pembangunan Gereja Paroki Santo Joseph di tengah kota Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, pada 6 Februari silam.

Alasan penolakan

Kelompok masyarakat yang menolak mengakui, jika Karimun mayoritas muslim. Sementara gereja berada di tengah kota.

“Lalu, berada di jantung kota Karimun. Tapi kalau mau bangun di tempat lain silahkan, mau 10 tingkat pun tidak masalah. Bahkan di depan Masjid Agung pun silahkan,” ujar Abdul Latif, Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Kabupaten Karimun.

Sementara itu, masih dilaporkan BBC News, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Nifasri, mengatakan semestinya tidak ada alasan bagi masyarakat untuk mendemo pembangunan rumah ibadah ibadah yang sudah memiliki IMB.

“Kalau memang persyaratan sudah dilengkapi, rekomendasi FKUB sudah ada, dan sudah terbit IMB, harusnya itu dilaksanakan. Tidak ada lagi alasan masyarakat untuk mendemo atau tidak setuju,” kata dia.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, PKUB, Kementerian Agama, Nifasri, menyadari aksi-aksi intoleransi terjadi karena “minimnya komunikasi” antar umat beragama.

Dia mengatakan rencana ke depan adalah untuk mengaktifkan Forum Kerukunan Umat Beragama di daerah.

Nifasri mengatakan akan mengkaji usulan revisi peraturan tentang pendirian rumah ibadah yang menurutnya, jika dicabut maka “konflik beragama akan semakin parah”.

“Kalau kita pahami isi PBM ini, para masyarakat yang akan mendirikan itu berdialog dulu dengan masayrakat setempat. Kalau ada kendala nanti sampaikan ke FKUB yang merupakan perwakilan dari semua agama dan dia harus berbuat yang terbaik untuk mendukung pendirian rumah ibadah,” katanya.

Bupati Karimun: Kami Bukan Kabupaten Intoleran

Bupati Karimun, Aunur Rafiq bersama tokoh masyarakat dan agama serta pimpinan FKPD melakukan deklarasi, Kamis (13/2/2020).

Kegiatan ini rangkaian dari pertemuan bersama untuk menyatukan sikap saling menjaga toleransi di Karimun, pasca polemik yang terjadi terkait Gereja Paroki Santo Joseph.

“Karimun bukan daerah yang intoleransi. Kita menjaga kehidupan umat beragama,” ujar Rafiq.

Kabupaten Karimun ditegaskannya sejauh ini dalam kondisi aman dan kondusif. Umat beragama disebutkan Rafiq menjalankan ibadah dengan aman, serta terjalinnya silaturahmi yang baik.

Juliana, perwakilan umat Katolik yang ikut dalam pertemuan dan deklarasi itu mengatakan, selama ini umat Katolik dan agama lainnya menjalankan ibadah dengan aman di Karimun.

“Saya mewakili umat katolik, merasa aman dan damai beribadah di Kabupaten Karimun. Tidak ada gangguan dan intimidasi dari pihak manapun,” ucapnya.

Tunggu proses peradilan

Reverendus Dominus (RD) Agustinus Dwi Prambodo mengungkapkan, hasil rapat pertemuan dengan Bupati Karimun, staf Kementerian Agama RI serta beberapa pihak lainnya, soal Gereja Santo Joseph Tanjungbalai Karimun sepakat menghormati proses hukum yang berjalan.

Dalam rapat bersama staf khusus Menteri Agama, Ubaidillah Amin, Bupati Karimun Aunur Rafiq, Uskup Keuskupan Pangkal Pinang, Uskup Mgr. Ardianus Sunarko, Kakanwil Kementrian Agama Kepri Mukhlissuddin, dan kepala Kemenag Karimun Jamzuri, kata Romo Pramodo sempat muncul usulan tersebut dan dituangkan dalam ‘notulen’ rapat.

“Jadi soal kesepakatan relokasi itu bukan hasil dari pertemuan tersebut, tapi kita sepakat kalau proses sekarang menunggu hasil proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang di Batam,” ujar Romo Keuskupan Pangkal Pinang kepada Batamnews, Kamis (13/2/2020).

Menurutnya, kalimat sepakat relokasi itu muncul atas desakan dan sebatas usulan semata. Saat ini semua pihak sepakat untuk menenangkan diri. “Jadi kalau hasil PTUN sudah keluar, apapun hasilnya semua sepakat menghormati, baik itu kalah atau menang,” ujar Romo yang biasa dipanggil Pramodo ini.

Editor: PARNA
Sumber: batamnews