JAKARTA – Banyak nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang masih menunggu aksi nyata pemerintah dalam mencairkan dana yang selama ini belum bisa dicairkan lantaran perusahaan sedang mengalami masalah gagal bayar.

Kondisi keuangan Jiwasraya kini merugi sekitar Rp 13,7 triliun dan membutuhkan uluran tangan pemerintah dalam menyelesaikan kasusnya. Kementerian BUMN sendiri sudah berjanji untuk mencicil uang para nasabah yang selama ini masih nyangkut alias belum cair.

Kementerian BUMN sudah memiliki beberapa upaya untuk mencicilnya, mulai membentuk holding asuransi, membentuk anak usaha lalu mencarikan mitra strategis, menghitung aset saham yang selama ini dimiliki. Dahan yang dihimpun dari upaya ini pun lumayan besar dan bisa mencicil uang nasabah.

Salah satu nasabah yang dananya masih nyangkut lumayan besar adalah Rudyantho Deppasau. Dia menceritakan uangnya yang belum dikembalikan Jiwasraya sebesar Rp 5 miliar dari total Rp 7 miliar.

“Awalnya Rp 7 miliar itu untuk dua polis, awal Januari sudah cari Rp 2 miliar, jadi masih nyangkut Rp 5 miliar,” kata Rudy saat acara Polemik MNC Trijaya di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu (18/1/2020).

Usaha Rudy untuk mencairkan dananya pun dicuekin oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai nasabah, dia bersama pemilik polis lainnya sudah membentuk forum yang berisikan 300 orang lainnya pada akhir Desember 2018. Adapun nasabah tersebut rata-rata investasinya dari Rp 50 juta- 50 miliar.

“Tapi tidak ada tanggapan pada saat itu, DPR, OJK membiarkan kita seperti anak kehilangan induk,” ungkapnya.

Dia pun menceritakan awal mula terjebak dalam kasus gagal bayar ini. Rata-rata nasabah tidak mengetahui secara pasti bentuk dari produk yang dijual oleh perusahaan asuransi jiwa pelat merah tersebut.

Dia sendiri awalnya hanya mendapatkan tawaran dari marketing Bank QNB yang mana uang miliknya sedang terparkir di deposito. Kala itu, marketing bank terus menawarkan produk JS Saving Plan dengan iming-iming imbal balik tinggi. Ditambah lagi Jiwasraya merupakan badan usaha milik negara (BUMN).

“Awalnya kita ditawarkan oleh bank, pada saat itu marketing itu bilang jauh lebih aman karena ini pemerintah,” kata Rudy saat acara Polemik MNC Trijaya di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu (18/1/2020).

JS Saving Plan merupakan produk dengan cost of fund (COF) sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi mencapai 9-13% yang ditawarkan secara masif sejak 2015. Nasabah juga bisa mengambil dananya hanya dalam jangka waktu satu tahun.

Akhirnya ia sepakat untuk memindahkan dana Rp 7 miliar di deposito ke JS Saving Plan milik Jiwasraya pada 2017. Dia pun tidak menaruh rasa curiga sedikit pun lantaran pihak marketing bank selalu menyebut produk ini milik pemerintah.

Dia pun mengaku tergiur lantaran produk investasi ini juga mendapat manfaat asuransi dan milik pemerintah.

“Kita nggak pernah curiga,” tambahnya.

Namun Rudy pun merasa janggal ketika ingin mencairkan dananya pada awal 2019. Dalam prosesnya dia mengaku setiap pegawai yang bertanggung jawab terhadap pencairan pun selalu menghindar untuk memberikan keterangan.

Dengan kejadian itu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) akan memanggil OJK dan kementerian terkait untuk memeriksa tata kelola sistem pengawasan yang diterapkan selama ini.

“Kita mulai minggu depan mulai panggil pihak yang terkait, kita mau tata kelola diperbaiki baik di BUMN, pengawasan di OJK, terutama aspek publikasi laporan keuangan standarnya diperbaiki,” kata anggota ORI, Alamsyah Saragih saat acara Polemik MNC Trijaya di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu (18/1/2020).

Hasil dari pemanggilan ini juga akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Editor: PARNA

Sumber: detikfinance