Politisi PDIP Adian Napitupulu meragukan status eks caleg PDIP Harun Masiku sebagai penyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Menurut Adian, Harun punya hak menjadi anggota DPR melalui pergantian antar waktu (PAW) sesuai dengan keputusan partai.

“Boleh tidak dia memperjuangkan haknya? Kalau boleh dia berjuang, mungkin caranya salah karena ada tawaran. Kira-kira seperti itu,” kata Adian dalam diskusi bertajuk ‘Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?’ di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (19/1).

“Dalam hal ini harus jernih melihat. Ada kemungkinan, dia mungkin pelaku suap. Kemudian kedua, dia korban dari iming-iming penyelenggara. Karena dia diberi hak yang diberikan oleh MA. Tanpa putusan MA, saya percaya dia tidak akan melakukan ini,” imbuhnya.

Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu

Dalam putusan dan fatwa MA, keputusan pengganti anggota DPR diserahkan sepenuhnya kepada PDIP selaku partai asal Nazaruddin Kiemas, caleg terpilih dari Dapil Sumsel I. Setelah Nazaruddin wafat, posisinya di DPR RI digantikan oleh caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua, Riezky Aprilia.

“MA bilang, suara caleg yang meninggal seharusnya sudah menjadi kewenangan diskresi partai untuk memberikan kader terbaiknya. Inilah putusan MA, itu terserah pimpinan partai. Ini bukan kata PDIP, ini menurut MA,” tegas Adian.

Berbekal surat putusan MA itu, kata Adian, PDIP lantas bersurat kepada KPU untuk meminta posisi Riezky Aprilia digantikan oleh Harun Masiku. Namun, KPU menolak hal tersebut.

“PDIP tidak akan meminta Harun (menggantikan Nazaruddin) kalau tidak ada putusan dari MA itu. Harun Masiku punya hak menjadi anggota DPR, hak itu berdasarkan keputusan partai yang diberikan berdasarkan keputusan MA, lalu dia tunggu haknya diberikan oleh KPU, tapi tidak diberikan,” tuturnya.

Sementara itu, tim kuasa hukum PDIP Maqdir Ismail menilai KPU menolak permintaan PDIP tersebut berdasarkan PKPU yang menyatakan pengganti suara terbanyak kedua yang berhak menggantikan Kiemas. Menurut Maqdir, seharusnya KPU memenuhi putusan MA yang digunakan PDIP.

“Oleh karena itu ini harus kita kembalikan kepada penafsiran tunggal yaitu MA. Yang jadi problem adalah menganggap tafsir MA salah, menganggap PKPU (peraturan KPU) yang benar,” tutup Maqdir.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan