Kongkalikong 4 oknum PDIP memperjuangkan caleg gagal dapil Sumatera Selatan I, Harun Masiku, menjadi anggota DPR, membuka fakta praktik pergantian anggota DPR jalur ‘penjara’: Menyuap komisioner KPU.

Padahal, Pergantian Antar Waktu (PAW) hal yang biasa terjadi di DPR dan tidak pernah ada masalah karena ada mekanisme rigid yang tinggal dijalankan. Yaitu anggota DPR penggantinya adalah pemenang suara terbanyak berikutnya di Pileg.

Meski begitu, setidaknya ada dua peristiwa PAW lain yang berbeda dan bisa dibandingkan dengan PAW jalur korupsi yang saat ini menjerat PDIP. Yaitu PAW terkait Mulan Jameela (Gerindra), dan terkait Fahri Hamzah (PKS).

Mari kita bahas pelan-pelan.

Aturan PAW
Pergantian anggota dewan diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasal 239 mengatur, pergantian anggota DPR hanya mungkin terjadi dalam tiga kondisi:

a. meninggal dunia
b. mengundurkan diri
c. diberhentikan

Diberhentikan yaitu (a) absen 3 bulan berturut-turut, (b) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR, (c) bersalah menurut putusan tetap pengadilan yang diancam minimal 5 tahun bui, (d) dipecat partai, (e) tak penuhi syarat lagi di DPR (f) melanggar larangan di UU MD3, (g) diberhentikan sebagai anggota parpol, (h) pindah parpol.

Sementara mekanisme PAW diatur di Pasal 243 Ayat (1):

Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.

Penggantinya adalah caleg dengan suara terbanyak berikutnya di dapil dan partai yang sama di Pileg. Jika tidak ada, maka caleg dengan suara terbanyak berikutnya lagi.

Pasal 242

(1) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.

Mari bahas kasusnya.

1. Harun Masiku

Harun Masiku adalah caleg DPR di dapil Sumatera Selatan I di Pileg 2019. Dia gagal ke DPR karena hanya mengantongi 5.878 suara alias urutan 6. Urutan pertama adalah Nazarudin Kiemas yang dapat 145.725 suara.

Namun, 3 minggu sebelum pencoblosan pada 17 April 2019, Nazarudin meninggal dunia. KPU lalu menentukan pengganti dengan merujuk ketentuan UU Pemilu (diatur juga di UU MD3 seperti disebut di atas).

Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu:

Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.

Di dapil Sumsel I dari PDIP, caleg terbanyak berikutnya adalah Riezky Aprilia, anak mantan Wali Kota Lubuklinggau Riduan Effendi, yang mengantongi 44.402 suara. Sehingga Riezky ditetapkan KPU sebagai caleg pengganti.

Namun sebelum keputusan KPU itu, PDIP menggugat 2 Peraturan KPU (PKPU) ke Mahkamah Agung (MA) yang intinya meminta agar pengganti caleg meninggal ditentukan parpol, bukan aturan UU. Permintaan mereka ditolak MA, tapi diklaim PDIP dikabulkan.

Putusan MA itu lalu dilampirkan dalam surat DPP PDIP yang diteken Megawati-Hasto ke KPU. Tapi oleh KPU permintaan itu ditolak berdasarkan rapat pleno karena balik lagi tadi, tak sesuai UU.

Riezky Aprilia akhirnya dilantik sebagai anggota DPR. Tapi PDIP tak patah arang. Mereka minta fatwa ke MA untuk mengoreksi keputusan KPU yang awal, agar Harun Masiku-lah yang masuk DPR. Nah, di sini 4 caleg PDIP kongkalikong mendorong lewat jalur samping, mengatur suap ke komisioner KPU Wahyu Setiawan agar KPU mengubah keputusan.

Singkatnya, Wahyu meminta suap Rp 900 juta untuk memuluskan permintaan PDIP. Wahyu lalu menerima Rp 200 juta dulu, dan penerimaan kedua Rp 400 juta. Namun belum sempat penerimaan kedua di tangan, Wahyu sudah di-OTT KPK.

Ketua KPU Arief Budiman memastikan Wahyu bermain sendiri, karena 6 komisioner KPU faktanya menolak permintaan di surat DPP PDIP soal PAW Harun Masiku.

2. Mulan Jameela

Gerindra punya cara lebih sederhana untuk mengganti anggota DPR, yang tak serumit dan seugal-ugalan oknum PDIP. Jika PDIP ada Harun Masiku, Gerindra punya caleg DPR Mulan Jameela.

Artis yang juga suami musisi Ahmad Dhani itu adalah caleg di dapil Jawa Barat XI, meliputi Kabupaten Garut, Kabupaten Tasik, dan Kota Tasikmalaya.

Mulan gagal ke DPR karena hanya mengantongi 24.192 suara alias urutan ketiga terbanyak di dapil. Urutan pertama yang lolos ke DPR adalah Ervin Luthfi dengan raihan 33.938 suara yang oleh KPU akhirnya ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih.

Tapi 3 bulan sebelum pelantikan anggota DPR, entah ide dari mana, Mulan dan 13 caleg gagal Gerindra lain mengajukan gugatan perdata ke PN Jaksel yang intinya minta mereka yang ditetapkan sebagai anggota DPR, karena berjasa bagi partai. Belakangan, 5 orang menarik gugatan.

Putusan PN Jaksel lalu terbit 2 minggu sebelum pelantikan DPR, menyatakan DPP Partai Gerindra punya hak menetapkan anggota DPR. Namun, putusan ini dimaknai Gerindra perintah PN Jaksel untuk mengangkat Mulan dkk sebagai anggota DPR. Caranya, memecat caleg terpilih dan caleg yang suaranya di atas penggugat dari Gerindra.

Untuk Mulan, DPP Gerindra memecat caleg terpilih Ervin Luthfi dan suara terbanyak kedua Fahrul Rozi, agar Mulan jadi anggota DPR. Karena aturan UU Pemilu, caleg pengganti adalah suara terbanyak berikutnya.

KPU menerima surat Gerindra bahwa Ervin dan Fahrul Rozi dipecat sehingga tidak memenuhi syarat sebagai anggota DPR. Mulan akhirnya duduk di DPR lewat jalur pemecatan.

Pergantian Mulan ini disebut disebut pergantian caleg lebih tepat, bukan PAW, karena terjadi sebelum pelantikan. Meski kini caleg yang dipecat dalam proses gugatan.

3. Fahri Hamzah

Politikus PKS Fahri Hamzah yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 itu dipecat dari anggota DPR dan anggota PKS oleh DPP PKS karena alasan pelanggaran disiplin. Fahri dianggap tidak sejalan dengan karakter partai dakwah karena sejumlah komentarnya yang kontroversial.

Proses pemecatan politikus asal NTB itu panjang dan bertahap, hingga akhirnya DPP PKS (Majelis Tahkim) memutuskan memecat Fahri pada 11 Maret 2016.

Menyikapi pemecatan, Fahri ternyata melawan dengan menggugat keputusan PKS itu ke PN Jaksel. Hasilnya, pengadilan memenangkan Fahri Hamzah atas DPP PKS alias pemecatan tidak sah. PKS lalu banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, keputusannya justru menguatkan putusan PN Jaksel.

Upaya terakhir DPP PKS adalah kasasi ke Mahkamah Agung (MA), tapi ternyata ditolak. Kesimpulannya, Fahri menang melawan PKS. tak sampai situ, putusan tingkat pertama itu disertai dengan amar PKS membayar ganti rugi Rp 30 miliar yang hingga masa periode DPR berakhir ini belum dibayarkan.

Perjalanan hukum kasus Fahri itu bergulir sangat lama dari 2016-2019. Di antara proses itu, PKS sebetulnya melayangkan surat ke pimpinan DPR menarik Fahri dari kursi pimpinan DPR yang menjadi hak PKS dan tak bisa digugat. Tapi oleh pimpinan DPR Setya Novanto surat PKS itu tak digubris, karena alasan ada gugatan di pengadilan. Padahal, yang digugat adalah pemecatan sebagai anggota DPR dan PKS, bukan soal kursi pimpinan DPR.

Fahri akhirnya mempertahankan posisinya di DPR hingga akhir masa jabatan. UU MD3 memang menyebut anggota DPR yang dipecat namun mengajukan gugatan tidak bisa langsung diberhentikan sampai ada putusan inkrah.

Kasus Fahri jadi pelajaran bahwa anggota DPR/kader partai punya hak mempertahankan kursi yang diperjuangkan di Pileg.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan