JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan laba keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak 2006 semu. Sebab, raupan laba itu diperoleh karena rekayasa laporan keuangan (window dressing).

“Meski sejak 2006 perusahaan masih laba tapi laba itu laba semu sebagai akibat rekayasa akuntansi atau window dressing,” ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (8/1).

Lalu, pada 2017 perusahaan memperoleh laba Rp2,4 triliun tetapi tidak wajar karena ada kecurangan pencadangan Rp7,7 triliun.”Jika pencadangan sesuai ketentuan harusnya perusahaan rugi,” ujarnya.

Pada 2018, perusahaan merugi Rp15,3 triliun. Kemudian, pada September 2019,
Keuangan memburuk hingga November 2019, keuangan perusahaan negatif Rp27,2 triliun.

“Kerugian terjadi karena Jiwasraya menjual produk saving plan bunga tinggi di atas deposito sejak 2015. Dana itu diinvestasikan di reksa dana kualitas rendah jadi negative spread,” ujarnya.

Selanjutnya, Agung menjelaskan, produk saving plan memang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi sejak 2015. Namun, produk yang ditawarkan melalui bank ini (bancaasurance) ini menawarkan bunga tinggi dengan tambahan manfaat asuransi dan tidak mempertimbangkan biaya atas asuransi yang dijual. Selain itu, penunjukkan bancassurance diduga tidak sesuai ketentuan.

“Produk saving plan diduga konflik kepentingan karena Jiwasraya mendapat fee atas penjualan produk tersebut,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengisyaratkan skandal besar terkait kasus Jiwasraya. Ia juga menekankan persoalan Jiwasraya kompleks.

“Semua yang terlibat, ini kompleks masalahnya. Tidak seperti yang teman-teman (media) duga. Ini jauh lebih kompleks daripada yang teman-teman bisa bayangkan,” ujar Agung pekan lalu.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS) Tahun 2016, BPK menyatakan pengelolaan dana investasi nasabah dan pengelola dananya tidak menerapkan prinsip korporasi yang sehat. Praktik itu terjadi pada 2014-2015.

Masalah lain terkait pembayaran komisi jasa penutupan kepada pihak terjamin. Menurut BPK, pembayaran tersebut tidak sesuai dengan besaran komisi yang dimuat dalam perjanjian kerja sama.

Kemudian, pencatatan piutang pokok dan bunga gadai polis yang belum sesuai dengan nota dinas direksi Nomor 052.a.ND.K.0220066. Lalu, kekurangan penerimaan atas penetapan nilai premi yang harus dibayarkan oleh PT BSP.

Jiwasraya akhirnya mendapatkan karma dari ‘dosa-dosa’ lamanya. Perusahaan gagal membayar klaim nasabahnya sebesar Rp802 miliar pada Oktober 2018 lalu.

Kementerian BUMN mengungkap Jiwasraya banyak menempatkan dana investasi di saham-saham gorengan.

Kemudian, Kejaksaan Agung menyebut 95 persen dana investasi Jiwasraya ditempatkan di saham ‘sampah’. Berdasarkan dugaan awal, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan total dana yang diinvestasikan di saham ‘sampah’ tersebut mencapai Rp5,7 triliun atau 22,4 persen dari total investasi Jiwasraya.

Tidak hanya itu, ia melanjutkan, 98 persen dari dana investasi di reksa dana atau senilai Rp14,9 triliun dititipkan pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan manajer investasi dengan kinerja buruk.

Demi mengusut kasus Jiwasraya, Kejagung telah mencekal 10 orang. Mereka adalah, HR, DA, HP, NZ, DW, GL, ER, HD, BT, AS.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia