JAKARTA – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan resmi menurunkan batasan atau threshold untuk bea masuk barang impor via online atau e-commerce. Awalnya batasan nilai bebas bea masuk maksimal US$ 75 atau Rp 1.050.000, kini diturunkan menjadi maksimal US$ 3 atau Rp 45.000. Jika harganya di atas US$ 3 maka akan kena bea masuk.

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat, mengungkapkan beleid itu masih dalam proses perundangan. Syarif mengatakan peraturan diberlakukan akhir Januari 2020.

“Kemungkinan pada akhir bulan ini. Ketika kami selesai dalam minggu ini, kami akan sosialisasi dengan pihak-pihak terkait. Yang jelas akhir bulan ini,” ujar Syarif dikutip dari CNBC Indonesia, Sabtu (4/1/2020).

Menurut dia, pemerintah memiliki alasan kuat dibalik penerbitan kebijakan ini. Sebab, mayoritas barang kiriman impor via e-commerce mayoritas atau di atas 90% bernilai di bawah US$ 75.

“Maka industri barang sejenis di Indonesia terkena dampak karena mereka masuk tidak membayar pajak. Sementara barang-barang sejenis yang diproduksi oleh UMKM mereka membayar pajak, sehingga ini kan menjadi persaingan yang tidak fair. Maka akhirnya kami mengenakan peraturan ini agar terjadi persaingan yang fair antarbarang yang didatangkan dari luar negeri dengan produsen yang ada di dalam negeri,” kata Syarif.

Ia menjelaskan, dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, terjadi peningkatan yang sangat pesat untuk barang kiriman impor. Dari data consignment note, dua tahun lalu barang kiriman sekitar 6 juta dokumen, melonjak naik menjadi 20 juta dokumen, dan pada akhir tahun 2019 sudah 49,7 juta dokumen.

Selain itu, barang kiriman impor ini 98% adalah barang konsumsi seperti tas, sepatu, dan pakaian ,yang hampir semuanya didatangkan dari China. Syarif menilai, pemberlakuan peraturan tarif bea masuk yang baru ini tidak akan mengganggu arus perdagangan dari luar masuk ke Indonesia.

“Justru importasi barang-barang tersebut malah bisa menekan terhadap industri dan perekonomian kita. Karena efek impor yang terlalu besar bisa mempengaruhi nilai tukar dan makro ekonomi kita,” katanya.

Editor: PARNA
Sumber: detikfinance