JAKARTA – Presiden Ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara soal awal mula kasus Jiwasraya. Awal mula kasus Jiwasraya bisa jadi menentukan soal siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus asuransi pelat merah yang merugikan negara triliunan Rupiah itu.

Presiden Jokowi mengaku sudah punya gambaran solusi untuk masalah Jiwasraya ini, masalah yang menurut Jaksa Agung berpotensi merugikan negara Rp 13,7 triliun. Jokowi sudah berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Ini persoalan yang sudah lama sekali, 10 tahun yang lalu. Problem ini yang dalam 3 tahun ini kita sudah tahu dan ingin menyelesaikan masalah ini,” kata Jokowi di Novotel Balikpapan, Kaltim, Rabu (18/12) lalu.

Melalui penjelasan yang diterima dari Menteri BUMN Erick Thohir, Jokowi mengakui masalah Jiwasraya ini adalah masalah kelas berat. Soal proses hukum, Jokowi mempersilakan penegak hukum membereskannya.

“Ini bukan masalah yang ringan tapi setelah saya perhatikan pak menteri BUMN (Erick Thohir), kemarin kita sudah rapat kementerian BUMN dan kementerian keuangan yang jelas gambaran solusinya sudah ada, kita tengah mencari solusi itu. Sudah ada (solusi), masih dalam proses semua tapi berkaitan dengan hukum ranahnya sudah masuk ke kriminal sudah masuk ke ranah hukum alternatif penyelesaian akan selesaikan,” kata Jokowi.

Erick Thohir sendiri menjelaskan, Jiwasraya saat ini sedang dalam proses restrukturisasi, yakni proses perbaikan terhadap debitur yang kesulitan melunasi kewajibannya. Proses restrukturisasi itu sudah terjadi sejak 2006 dan meningkat pada 2011.

Lalu kapan persoalan Jiwasraya ini muncul? Bila Jokowi mengatakan persoalan ini sudah sejak 10 tahun lalu (2009), berarti itu adalah masa Presiden SBY. Staf pribadi SBY, Ossy Dermawan, menyampaikan respons SBY.

“Kamis (26/12) SBY menerima sejumlah tamu. Ada yang menyampaikan bahwa sepertinya kasus Jiwasraya mau ditarik mundur ke tahun 2006,” kata Ossy dalam cuitannya di Twitter, Jumat (27/12/2019). Ossy membagikan cuitannya kepada sejumlah wartawan.

Apabila pejabat saat ini enggan bertanggung jawab terhadap masalah Jiwasraya, SBY tak masalah bila masa lalu disalahkan

“Dengan tenang SBY menjawab: Kalau di negeri ini tak satu pun yang mau bertanggung jawab tentang kasus Jiwasraya, ya.. salahkan saja masa lalu,” cuit Ossy.

SBY menyebut krisis besar Jiwasraya baru terjadi sejak dua tahun yang lalu. Ini lain dengan keterangan Jokowi yang menyebut masalah Jiwasraya dimulai 10 tahun lalu. SBY lagi-lagi mempersilakan pejabat saat ini menyalahkan masa lalu jika enggan menanggung beban masalah Jiwasraya.

“Yang rakyat ketahui, krisis besar Jiwasraya terjadi 2 tahun terakhir, 2018-2019. Jika ini pun tak ada yang bertanggung jawab, ya sudah, salahkan saja tahun 2006. Para pejabat tahun 2006 juga masih ada, mulai dari saya, Wapres JK, Menkeu SMI, Menteri BUMN dan lain-lain. Tapi, tak perlu mereka harus disalahkan,” cuit Ossy.

Soal Kasus Jiwasraya

Jiwasraya sedang mengalami masalah pada neraca keuangan. Hal ini tercermin dari risk based capital (RBC) atau rasio kecukupan modal di perusahaan tercatat minus 805%.

Padahal sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi baik umum atau jiwa adalah 120%. Akibatnya banyak polis nasabah yang tidak dibayar.

Dugaan korupsi di Jiwasraya tengah ditangani Kejagung. Dalam penyidikan awal, Kejagung sudah menaksir angka kerugian negara di kasus korupsi ini, yaitu sekitar Rp 13,7 triliun.

Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menilai Jiwasraya telah melanggar prinsip kehati-hatian dalam hal berinvestasi. Menurut Burhanuddin, Jiwasraya malah menempatkan 95 persen dana di saham yang berkinerja buruk.

“Sebagaimana tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengelolaan bisnis asuransi, investasi, pendapatan, dan biaya operasional. Hal ini terlihat pada pelanggaran prinsip kehati-hatian dengan berinvestasi yang dilakukan oleh PT Asuransi Jiwasraya yang telah banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi untuk mengejar high grade atau keuntungan tinggi antara lain yang pertama adalah penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial dan jumlah tersebut 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik dan sebanyak 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk,” tutur Jaksa Agung ST Burhanuddin saat jumpa pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (18/12).

Editor: PARNA
Sumber: detiknews