Gloria Tamba (34) masih berusia 24 tahun kala ia harus terlibat dalam sejumlah perkara hukum besar. Sebut saja kala membela Antasari Azhar (eks ketua KPK), Gayus Tambunan (eks PNS Dirjen Pajak) hingga Irjen Djoko Susilo (eks Kakorlantas Polri). Ia bersidang mendampingi pengacara kondang Hotma Sitompoel.

Dalam kasus-kasus itu, menang-kalah tak jadi persoalan bagi Gloria. Pria kelahiran Berastagi, Sumatera Utara, 30 Agustus 1985, ini selalu menanamkan dalam diri bahwa tugasnya sebagai pengacara bukan untuk memenangkan perkara. Melainkan meletakkan duduk perkara.

“Kalau salah ya salah, tapi dengan hukuman yang proporsional. Jangan kesalahannya sedikit, ditimpa dengan hukuman yang berat. Itu kan tidak adil. Kalau dia salah ya kita minta keringanan. Tapi kalau tidak salah, kita akan berjuang habis-habisan,” kata Gloria saat ditemui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Mawar Sharon, di Sunter, Jakarta Utara, Selasa (5/11).

Gloria Tamba, NOT COVER

 

Ada yang menarik dari sosok Gloria. Terutama kala ditanya soal kasus paling berkesan bagi dirinya. Setelah diam menghelat napas beberapa saat, bukan kasus-kasus besar tadi yang ia sebut. Gloria justru merujuk pada kasus-kasus pro bono (untuk kepentingan umum dan tanpa biaya) yang ditanganinya di LBH Mawar Sharon.

“Karena gini, untuk orang kaya, mereka berperkara sekian rupiah itu hanya sebagian dari kekayaannya. Sementara untuk orang yang tidak mampu, yang kita bela gratis, itu hidup matinya di situ,” kata pengacara jebolan Fakultas Hukum Universitas Lampung itu.

Gloria merasa bahwa orang-orang yang mengadukan kasusnya ke LBH patut dibela maksimal. Sebab, nasib orang-orang itu sedang dipertaruhkan dan dititipkan padanya dalam persidangan.

Gloria Tamba, NOT COVER

 

Misalnya, dalam kasus Usep Cahyono (2010), pedagang asongan yang didakwa membawa ganja. Dalam kasus ini, Gloria sebagai salah satu tim pengacaranya, membela pria asal Tasikmalaya tersebut dari dugaan rekayasa hukum hingga bebas.

Ada juga kasus Nenek Rasminah (2011), pembantu rumah tangga di Tangerang yang dituduh mencuri 6 buah piring dan sop buntut. Pada kasus ini, Gloria mendapat informasi dari temannya yang merupakan seorang pewarta. Mewakili LBH Mawar Sharon, ia bergegas menemui sang nenek.

“Kita kan punya insting untuk tahu cerita seseorang itu benar atau tidak. Saat itu aku, instingku, bilang nenek ini benar. Alasan dia, ‘Ini enggak aku curi, ibu sendiri ngasih sama aku karena aku sudah bertahun-tahun kerja di sana’,” kenang Gloria.

Gloria Tamba, NOT COVER

 

Tak jelas apa yang dipikirkan sang majikan memperkarakan hal sesepele itu. Yang jelas, sang nenek sudah dilaporkan ke polisi. Saat Gloria menemui Rasminah pun, nenek berusia 55 tahun itu sudah meringkuk di rumah tahanan wanita di Tangerang.

“Enggak tahulah apa prosesnya saat itu karena faktanya udah ditahan. Dan aku diminta tolong ketika nenek itu dalam tahanan, kemudian turun ke sana, kita bela, sidang di pengadilan, bebas,” cerita Gloria singkat.

Kasus nenek Rasminah sempat mencuat menjadi isu nasional kala itu. Bahkan, kasus ini sampai naik ke Mahkamah Agung setelah sebelumnya Rasminah divonis bebas murni di Pengadilan Negeri Tangerang.

Gloria Tamba

 

Mencuatnya isu Rasminah juga menggaungkan wacana penerapan keadilan restoratif (restorative justice). Menurut Buletin Komisi Yudisial (Januari-Februari, 2012) keadilan ini menekankan pada perbaikan akibat yang disebabkan tindak pidana. Caranya, dengan memberdayakan proses pemulihan dan kepentingan semua yang terlibat baik pelaku dan korban, maupun masyarakat. Tujuannya, agar kasus macam Nenek Rasminah tidak berujung ke pengadilan.

Eman Suparman, Ketua Komisi Yudisial saat itu juga sampai proaktif memantau kasus dan putusan terkait Rasminah.

“Setelah tahu bagaimana pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutus perkara, kami bisa mengetahui seberapa jauh hakim memberi keadilan. Karena masyarakat selama ini sudah resah dengan pemberian putusan pada rakyat kecil,” kata Eman melansir Buletin KY.

Gloria Tamba, NOT COVER

 

Membebaskan orang miskin yang tak bersalah menjadi kepuasan tersendiri bagi Gloria. Dengan itu, ia bisa membantu orang mendapatkan haknya yang ia sendiri tak mampu perjuangkan.

“Kalau orang kaya dia bisa ke kantor pengacara profesional dengan bayar fee. Kalau ini, jangankan menghubungi pengacara, pengacara apa pun itu dia enggak tahu. Kalau kita bukan yang datang ke sana, belum tentu ada yang bantu,” katanya.

Susah Saat Kuliah

Simpati kepada masyarakat kurang mampu sebenarnya sudah terbentuk sejak Gloria duduk di bangku kuliah (2003-2006). Sebab, ia merasakan sendiri betapa sulitnya hidup di tengah kekurangan untuk mengecap pendidikan.

“Kalau ingat itu aku pengin nangis, kalau itu memang susahnya susah banget,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Saat kuliah, Gloria menyebut dirinya sebagai Batak Tembak Langsung (BTL) alias orang batak di perantauan yang tak punya sanak saudara. Karena itulah, ketika uang hasil pemberian orang tuanya tak mencukupi, ia harus berjuang sendiri.

Gloria Tamba

Misalnya, untuk mengurangi biaya sewa kosnya, Gloria rela bantu-bantu pekerjaan di indekosnya. Sampai pada satu waktu ibu kosnya sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri hingga sekarang.

Seminar di semua fakultas pun rajin Gloria ikuti demi mengumpulkan kotak-kotak snack yang tersisa untuk untuk makan malam. Saking hematnya, ia pun mendapat julukan ‘Menteri Ekonomi’.

“Ahli ekonomi dalam memanfaatkan ekonomi teman-teman. Misalnya, mereka lagi kumpul nih, aku tanya, ‘Punya duit logam enggak terpakai enggak? Kalau ada, minta, minta, minta.’ Uang itu bisa kepakai untuk sekali makan siang, lebih Rp 500 malah,” cerita Gloria sambil memeragakan dirinya memunguti uang recehan dari temannya.

Gloria Tamba, NOT COVER

Keadaan finansial Gloria mulai terbantu kala ia menjadi salah satu penerima Djarum Beasiswa Plus 2004/2005 dan 2005/2006. Ia bahkan aktif mengikuti lomba karya tulis yang digelar Djarum Foundation. Ia menyabet juara dua tingkat nasional dan mendapatkan uang Rp 25 juta. Uang itu digunakan untuk membiayai tiket pesawat orang tuanya menghadiri wisuda dan membantu kakaknya merantau di Jakarta.

Karya tulis yang membawa Gloria juara itu membuatnya mendapat titel Lulusan Terbaik Tingkat Universitas. Padahal Indeks Prestasi Gloria tak setinggi mahasiswa yang menjadi Lulusan Terbaik Kedua. Karya tulis itu pula yang menjadi portofolionya saat mendaftar di Kantor Hukum Hotma Sitompoel dan LBH Mawar Sharon hingga ia diterima sebagai salah satu pengacara di sana.

Gloria Tamba, NOT COVER

Selama 12 tahun menjadi pengacara, Gloria sudah terlibat menangani ribuan kasus baik pro bono maupun profesional. Berkali-kali ia menyebut pujian kepada Tuhan sebagai rasa syukur bisa lulus kuliah saat itu karena terbantu Djarum Beasiswa Plus.

“Tanpa mengurangi rasa hormat kepada seluruh pengorbanan orang tuaku, bisa kubilang kalau dulu misalnya enggak ikut Beswan Djarum mungkin enggak (jadi pengacara) seperti ini, termasuk pola pikirnya berubah, karena di pelatihan beasiswa itu diajarkan tentang kebersamaan dan tentang kepedulian,” tutupnya.

Gloria Tamba, NOT COVER

Editor: PARNA
Sumber: kumparan