Nasional
8 min read
113

Ahok (Ternyata) Belum Tamat

22 November 2019
0

Karier politik saya sudah selesai. Mayoritas orang sudah mengecap saya menista (agama). Saya sudah cacat di republik ini. Game over.

– Ahok

Basuki Tjahaja Purnama, yang masih kerap disapa Ahok alih-alih BTP, mengucapkan itu ketika menerima Roosseno Award di Jakarta pada 22 Juli.

Penghargaan dari biro konsultan hak kekayaan intelektual Biro Oktroi Roosseno itu diberikan setiap tahun sejak 2011 kepada tokoh yang menginspirasi. Tahun 2019, penghargaan tersebut jatuh ke tangan Ahok yang dianggap memiliki etos kerja dan integritas tinggi, serta dinilai berhasil melakukan terobosan di DKI Jakarta melalui sejumlah kebijakannya.

Namun, momen menggembirakan itu justru digunakan Ahok untuk menegaskan tamatnya karier politik dia. Tak hanya itu, ia merasa banyak orang tak lagi menyukainya. Baik karena kasus penistaan agama yang menjeratnya, maupun karena perceraiannya dengan Veronica Tan.

“Masyarakat kelas menengah, terutama ibu-ibu, marah karena urusan perceraian dan pernikahan saya (dengan Puput Nastiti Devi—istri Ahok kini). Jadi ya sebetulnya saya sudah selesai. Di gereja, semua ngelihatin saya kayak orang sesat,” ujar Ahok.

Menggenapi gambaran situasi sulitnya di jalur politik, Ahok mengatakan, “Saya tidak mungkin jadi menteri. Saya kan sudah ‘cacat’. Ini bukan pesimistis, tapi fakta.”

Kala itu, presiden dan wakil presiden terpilih telah ditetapkan KPU menyusul rampungnya sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Jokowi, rekan Ahok dalam memimpin Jakarta pada 2012-2014, resmi menggenggam periode keduanya sebagai presiden. Bursa calon menteri pun mulai beredar.

“Spekulasi (Ahok) masuk kabinet memang ada, tapi nggak terlalu ditanggapi,” kata Bambang Waluyo Djojohadikusumo, sahabat kental Ahok di Partai Golkar DKI Jakarta.

Sekalipun Ahok tak menjadi menteri, Jokowi tetap berhubungan baik dengannya. Seorang sumber menyebut, Jokowi biasa menjaga dan memonitor Ahok melalui sejumlah perantara, yakni orang-orang dekatnya di Istana. Lewat mereka, Jokowi mendapat kabar dan perkembangan informasi soal Ahok, termasuk ketika Ahok berada dalam tahanan.

Sekeluarnya Ahok dari Rutan Mako Brimob pada akhir Januari 2019, di tengah masa kampanye pemilu, komunikasi antara dia dan Jokowi terus terbina. Ahok—yang kemudian minta dipanggil BTP—secara resmi bergabung dengan PDIP yang selama ini menaungi Jokowi.

Meski begitu, Ahok tak lantas beredar di sekitar Jokowi. Ia tak diharapkan berada dekat-dekat dengan Jokowi, dan tak dimasukkan ke dalam keanggotaan Tim Sukses Jokowi-Ma’ruf.

“Jangan (masuk Timses Jokowi). Bisa berakibat orang ingat Pak Jokowi didukung penista agama. Kan bahaya itu, bisa mengurangi suara,” kata Jusuf Kalla, Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf.

Ketika itu, koalisi Jokowi mencoba ‘memitigasi potensi bencana’ yang mungkin muncul selepas Ahok bebas. “Pemilu dua bulan lagi. Lebih baik tenang-tenang saja, Pak Ahok. Jalan-jalan dulu saja,” imbuh JK.

Maka, bukannya ikut berkampanye untuk Jokowi, Ahok justru berbulan madu panjang ke luar negeri. Ia menyambangi beberapa negara sekaligus, bahkan tak pulang ke Indonesia saat hari pencoblosan. Ahok memberikan suaranya di Osaka, Jepang, 14 April.

“(Ahok saat itu) ke Korea, Jepang, Norwegia. Orang di sekitarnya menganjurkan dia untuk tidak di sini (Indonesia), karena posisinya sangat rawan. Dia jadi celah paling bagus untuk menghantam Jokowi. Jadi ya sudah, dia keliling-keliling saja di luar negeri,” kata Jojo Wahab, sapaan Bambang Waluyo Djojohadikusumo, kepada kumparan di Menteng, Jakarta Pusat.

Namun, ujar seorang politisi di lingkaran Ahok, “Pak Jokowi pasti pakai dia lagi.”

Awal November, Jokowi mengajukan nama Ahok kepada Menteri BUMN Erick Thohir. Ahok, menurut sumber kumparan, diplot untuk mengisi posisi Komisaris Utama Pertamina.

“Dia (akan ditempatkan) di jajaran komisaris, bukan direksi. (Sebagai) komisaris utama,” kata sumber tersebut.

Wewenang komisaris di perusahaan-perusahaan milik negara, ujar Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, akan diperkuat oleh kementeriannya.

“Komisaris akan jadi andalan kementerian. Dia kan memang berwenang melakukan pengawasan (terhadap perusahaan), jadi tidak selalu kami di kementerian yang mengawasi BUMN,” kata Arya di kantornya, Kamis (21/11).

Dengan konsep komisaris sebagai perpanjangan tangan kementerian itulah Ahok bakal masuk ke Pertamina. Ia ternyata belum tamat.

“Pak Jokowi tuh tahu Ahok. Banyak kebijakan DKI yang lahir melalui Pak Jokowi, namun yang mengeksekusi Ahok,” ujar Jojo Wahab. Ia menambahkan, Jokowi kerap merasa pas dengan implementasi Ahok atas konsepnya.

Ahok muncul di kantor Kementerian BUMN, Rabu pagi (13/11). Sekeluarnya dari sana siang hari, ia mengatakan mendapat tawaran untuk mengisi jabatan di BUMN.

Arya Sinulingga mengamini. “Kami minta kesediaan beliau dulu, karena kami butuh orang seperti Pak Ahok yang bisa mendukung BUMN. Beliau punya kapasitas yang diakui publik untuk perbaiki banyak hal,” ujar mantan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf itu.

Sang menteri, Erick Thohir, mengatakan bahwa BUMN yang jumlahnya mencapai seratusan perusahaan membutuhkan sosok yang dapat melakukan terobosan. Itu sebabnya Ahok menjadi salah satu kandidat untuk mengisi kursi di BUMN.

“Enggak mungkin 142 perusahaan dipegang satu orang. Kami harapkan ada perwakilan yang punya track record pendobrak untuk mempercepat (gerak perusahaan) sesuai yang diarahkan,” kata Erick di Istana, sehari sesudah bertemu Ahok, Kamis (14/11).

Jojo Wahab, sahabat Ahok, tak heran bila Ahok ditarik masuk ke Pertamina. “Saya kenal Ahok. Saya berkawan dengan dia sejak baru lulus SMA, dan pernah bisnis bareng. Ahok itu fast learner, jago ngitung, dan berani mengambil langkah-langkah drastis. Dia juga kuliah geologi, jadi paham mengenai pertambangan.”

Namun, ekonom INDEF Bhima Yudhistira memandang bahwa berani dan tegas tidaklah cukup untuk mengurus BUMN. Sebab, ada hal lebih penting yang mestinya dipertimbangkan, yakni konsep. “Apa konsep yang ditawarkan? Ini penting untuk mengubah secara struktural masalah BUMN yang relatif sangat kompleks.”

Ia menegaskan, “Satu Ahok belum tentu menyehatkan satu BUMN.” Terlebih, lanjutnya, latar Ahok bukan dari perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan minyak dan gas.

Kalau untuk bangsa, saya bersedia. Sektor mana saja boleh, yang penting bantu negara.

– Ahok

Kabar Ahok bakal berlabuh di Pertamina menyebar cepat—dan menuai reaksi keras dari internal perusahaan itu. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menganggap Ahok biang onar, punya sikap tak terpuji, serta terjerat kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras dan korupsi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada pulau reklamasi C dan D.

Pada kasus terkait RS Sumber Waras yang diduga merugikan negara hingga Rp 173 miliar, KPK menyatakan bukti-bukti belum lengkap. Sementara pada kasus pulau reklamasi, penyidik Polda Metro Jaya telah memeriksa Ahok dan belum menemukan pelanggaran pidana. Kedua kasus tersebut belum tuntas.

FSPPB berpendapat, memberikan kursi ke Ahok di BUMN akan memancing kekacauan.

Maka belum juga Ahok duduk di kursi komisaris Pertamina, publik telah gaduh. Komentar datang dari sejumlah tokoh.

“Apakah Ahok —ups, maafkan— apakah BTP itu orang berprestasi? Sehingga akan ditempatkan di salah satu BUMN? Rencana itu sangat baik. Kalau BTP memang dianggap orang yang selama ini berprestasi. Lepas siapa pun ia. Apa pun pendidikannya. Di mana pun perjalanan karier sebelumnya. Bagaimana kalau BTP itu hanya berprestasi dalam membuat kehebohan?” tulis mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam DI’s Way, Sabtu (16/11).

Bagi eks Dirut PLN itu, ada prinsip penting yang harus dipegang dalam menunjuk pejabat BUMN. “Perusahaan perlu ketenangan. Perusahaan tidak bisa maju kalau hebohnya lebih besar dari kerjanya.”

Ucapan itu lantas ditafsirkan sebagai sindiran buat Ahok yang selama memimpin Jakarta dikenal “berisik”. Sementara Arya Sinulingga menyentil balik Dahlan dengan menyebutnya suka bikin heboh pula selama menjabat sebagai Menteri BUMN beberapa tahun lalu.

Kalau benar begitu (Ahok hanya berprestasi membuat kehebohan), penempatannya di BUMN merupakan sebuah perjudian.

– Dahlan Iskan

Dahlan Iskan bukan satu-satunya yang mengkritik rencana penempatan Ahok di Pertamina. Ucapan tak kalah pedas keluar dari mulut Rizal Ramli. Mantan Menko Maritim itu menyebut penunjukkan Ahok bak cari gara-gara.

“Saya bingung mengapa Jokowi mencari masalah baru. Masalah udah banyak, dia tambahin lagi dengan nunjuk Ahok yang tidak punya corporate experience. […] Kalau perlu Chinese sebagai menteri, wakil menteri, atau (pejabat) BUMN, banyak eksekutif Chinese yang lebih canggih, smooth. Yang bulan kelas Glodok,” ujarnya, Jumat (15/11).

Ahok kemudian menanggapi komentar itu dengan tawa dan sanjungan untuk warga Glodok.

“Orang Glodok sih top usahanya. Lu kira gampang jadi orang Glodok? Sewa tempat di Glodok mahal, loh. Kalau disamakan dengan orang Glodok, berarti gue bakal jadi orang kaya nih, Bos,” kata Ahok, Rabu (20/11).

Glodok di Jakarta Barat dikenal sebagai area Pecinan yang dihuni mayoritas keturunan Tionghoa. Wilayah ini merupakan salah satu pusat penjualan barang elektronik di ibu kota. Dan menjadi pengusaha kaya raya yang punya bisnis di Glodok bisa jadi tidaklah buruk bagi Ahok.

Terlebih di sisi lain, ujar seorang kawannya, sang mantan gubernur DKI Jakarta itu kini menumpang di tempat orang. “Rumahnya yang di Pluit (Jakarta Utara) diserahin ke anak-anaknya. Sekarang dia dikasih pinjam rumah di Menteng.”

Image

Respons negatif soal Ahok sudah tentu diketahui Menteri Erick. Ia mendengar langsung pendapat sejumlah orang yang menganggap Ahok berbahaya. Pertamina bisa gaduh bila punya komisaris yang tak bisa mengerem lidahnya.

Oleh sebab itu, menurut sumber kumparan, Erick telah menyiapkan sejumlah langkah dan membikin kesepakatan dengan Ahok agar calon Komisaris Utama Pertamina itu tak jatuh pada tabiat lamanya yang sering bikin susah.

Sementara Ahok sendiri menganggap wajar penolakan terhadapnya dari pegawai Pertamina.

“(Dalam) hidup ini tidak ada yang setuju (sama kita) seratus persen. Tuhan aja ada yang nentang. Hidup gue ditolak melulu kok,” kata Ahok.

Bahkan permintaan dia untuk dipanggil BTP pun diabaikan publik. Sampai saat ini, banyak orang tetap menyebutnya “Ahok”.

Ahok Kembali

Editor: PARNA
Sumber: kumparan