JAKARTA – Sebanyak 529 item barang First Travel dirampas untuk negara. Putusan itu diketok oleh Pengadilan Negeri (PN) Depok dan dikuatkan Mahkamah Agung (MA).

Berdasarkan catatan detikcom, Rabu (20/11/2019), tuntutan perampasan ke negara tidak diajukan jaksa.

“Ini yang menjadi masalah. Asetnya First Travel ini kita nuntut agar barang bukti dan uang-uang disita dikembalikan kepada korban. Tapi oleh pengadilan, itu disita untuk negara, ini kan jadi masalah,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Ihwal perampasan untuk negara muncul pertama kali dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Depok. Duduk sebagai ketua majelis Sobandi dengan anggota Teguh Arifiano dan Yulianda Trimurti Asih Muryati. Putusan itu kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Duduk sebegai ketu amajelis Arif Supratman dengan anggota Ade Komarudin dan Abdul Fattah.
Di Balik Geger Vonis Uang Jemaah First Travel Dirampas Negara

Di tingkat kasasi, lagi-lagi MA memutuskan aset itu dirampas untuk negara. Putusan tersebut diketok oleh ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono.
Dalam pertimbangannya, alasan MA memutuskan aset First Travel dirampas oleh negara adalah:

1. Bahwa terhadap barang bukti Nomor urut 1 sampai dengan Nomor urut 529, Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum sebagaimana memori kasasinya memohon agar barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata melalui Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel berdasarkan Akta Pendirian Nomor 1, tanggal 16 April 2018 yang dibuat di hadapan Notaris Mafruchah Mustikawati, SH, M.Kn, untuk dibagikan secara proporsional dan merata akan tetapi sebagaimana fakta hukum di persidangan ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut

2. Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Menurut Yahya Harahap dalam buku ‘Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP’, kewenangan menentukan status barang sitaan ada di tangan hakim tingkat pertama dan banding.

“Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan,” kata Yahya dalam halaman 572.

Yahya mencontohkan putusan MA Nomor 107K/Kr/1977. Di kasus itu, majelis Pengadilan Tinggi (PT) Palembang agar barang sitaan dikembalikan kepada pihak sebelum terjadi perkara. Pemohon kasasi menganggap putusan PT Palembang telah menjurus kepada arah hukum perdata.

“Mengenai barang bukti adalah wewenang judec factie (Pengadilan Negeri) yang tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi,” ujar Yahya Harahap.

Bila menjadi otoritas PN Depok dan PT Bandung, mengapa uang jemaah malah dirampas negara? Hal ini yang membuat kejaksaan sebagai otoritas eksekusi dibuat bingung.

“Justru itu lagi kita bahas. Kita akan bahas apa upaya hukumnya ya,” kata Burhanuddin.

Kasus perampasan aset untuk masyarakat pernah berjalan mulus dalam kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), yaitu perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis, yang menghimpun dana masyarakat. Pengelola perusahaan milik Ramly Araby ini berhasil mengumpulkan sekitar 6000 investor, yang menyedot dana total Rp 500 miliar.

Dalam perjalanannya, PT QSAR mengalami kebangkrutan. Akibatnya, para investor yang merasa dirugikan melaporkan masalah ini ke polisi, dengan tuduhan penipuan.

Ramli Araby, sebagai Direktur Utama PT QSAR, pada tahun 2003 divonis Pengadilan Negeri (PN) Cibadak Sukabumi, dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Langkah selanjutnya, Kajari Cibadak kala itu, Narendra Jatna mempailitkan PT QSAR di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena kejaksaan tidak mempunyai kapasitas menghitung dan menilai kreditor.

“Kejaksaan tidak mempunyai kapasitas menghitung dan menilai kedudukan pada kreditor, sehingga apabila permohonan pemailitan PT QSAR dikabulkan, maka penanganan pembagian ini harus ditangani kurator yang ditunjuk pengadilan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Cibadak, Narendra Jatna kala itu.

Gayung bersambut. PN Jakpus mengabulkan permohonan permohonan jaksa dan mempailitkan PT QSAR. Aset pun dibagi kurator kepada para nasabah sesuai aturan.

Beda PT QSAR beda pula First Travel. Uang jemaah First Travel kini dirampas negara.

“Kami yang dirugikan, mengapa negara yang diuntungkan. Kami tidak dapat menerimanya. Semestinya hasil lelang diperuntukkan bagi jamaah,” kata jemaah First Travel, Asro Kamal Rokan.

Editor: PARNA
Sumber: detiknews