Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berkontribusi besar terhadap perlambatan perekonomian dunia termasuk Indonesia. Pengetatan barang impor asal China ke AS berimplikasi secara langsung pada perlambatan perekonomian dari 6,2 persen di kuarter 2 menjadi 6,0 persen di kuarter 3. Dari segi pertumbuhan industri China yang juga menurun 4,7 persen jauh meleset dari perkiraan semula di angka 5,4 persen.

Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi ini harus diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, terlebih perang dagang antara Jepang dan Korea Selatan juga telah memasuki babak baru. Pada bulan Agustus 2019, pemerintah Jepang meningkatkan kontrol ketat terhadap bahan-bahan kimia, termasuk fluorinated polymides, photoresists dan hydrogen fluoride. Ke tiga bahan kimia ini menjadi bahan yang sangat penting untuk memproduksi semikonduktor seperti chips memori, microprocessor, layar, penghubung sirkuit yang dipasang pada berbagai perangkat elektronik modern.

Pemerintah Jepang menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan pengekspor ketiga bahan kimia ke Korea Selatan membutuhkan izin ekspor yang memakan proses 90 hari. Proses ini menambah beban biaya dan memberikan ketidakpastian ekonomi bagi industri elektronik. Setidaknya ada dua perusahaan besar dari Korea Selatan yang akan ter dampak secara langsung dari kebijakan ini termasuk Samsung dan SK Hynix yang menguasai hampir 61 persen pasar dunia.

Ini juga berimbas pada pertambahan biaya produksi pada dua perusahaan besar yang menggunakan semikonduktor buatan Korea termasuk Huawei dan Apple. Proses izin ekspor selama 90 hari membuka celah kelemahan pada ketersediaan bahan kimia yang hanya bisa bertahan 20-30 hari terutama untuk produksi semi konduktor di Samsung.

Awal Perang Dagang Jepang dan Korea Selatan

Perang dagang China dan Korea Selatan tidak bisa dipisahkan dari konflik politik yang terjadi semasa penjajahan Jepang di Korea Selatan dari tahun 1910-1945 selama perang dunia kedua. Pada masa pemerintahan Park Chung Hee berusaha memulihkan hubungan diplomatik antara Korea Selatan dan Jepang pada tahun 1965. Korea Selatan kemudian mendapatkan bantuan pemulihan ekonomi yang senilai lebih dari seperempat GDP mereka.

Namun demikian, masih banyak isu dan masalah yang belum terpecahkan termasuk penggunaan pekerja paksa dari perusahaan Jepang dan perempuan Korea Selatan yang dijadikan budak prostitusi. Proses rekonsiliasi ini terus berlanjut di masa Pemerintahan Perdana Menteri Keizo Obuchi dan Presiden Kim Dae-jung. Secara terbuka Keizo meminta maaf pada Korea Selatan atas segala peristiwa yang terjadi dimasa penjajahan Jepang. Permintaan maaf dari Keizo Obuchi ini membuahkan hubungan yang semakin hangat antar-kedua Negara termasuk pencabutan larangan pemutaran film Jepang dan peningkatan jumlah arus turis masing-masing negara di tahun 2002.

Pada tahun 2015, Perdana Jepang Menteri Shinzo Abe kembali meminta maaf dengan menandatangani perjanjian diplomatik dengan Korea Selatan yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Park Geun-hye. Jepang memberikan dana USD 8,3 juta untuk mendirikan yayasan yang mampu menyediakan kenyamanan kepada wanita-wanita yang menjadi korban dan juga secara politis untuk mencegah protes dari para pihak korban. Namun pendekatan ini dianggap sangat elitis dan tidak mempertimbangkan perasaan dan aspek psikologis dari para korban.

Pada tahun 2017, ketika Presiden Korea Selatan Moon Jae In, membatalkan perjanjian diplomatik di tahun 2015. Di akhir 2018, keputusan peradilan tertinggi Korea Selatan memutuskan untuk dua perusahaan jepang Nippon Steel dan Sumitomo Metal dan Mistubishi Haeavy Industries LTD terbukti melakukan pekerja paksa pada perang dunia ke dua dan wajib membayar kompensasi. Peristiwa ini menyebabkan runyamnya hubungan Korea Selatan dan Jepang. Jepang menganggap Korea Selatan tidak memiliki niat baik untuk memperbaiki hubungan diplomatik antar kedua negara.

Dari peristiwa ini, Jepang memutuskan untuk menghapus Korea Selatan dari daftar putih negara-negara yang dipercayai untuk melakukan perdagangan dengan Jepang. Dengan keputusan ini, setiap perusahaan Jepang dan Korsel yang ingin melakukan kegiatan perdagangan dengan kedua negara harus melalui proses persetujuan dengan per item, beda dengan perjanjian terdahulu dimana proses persetujuan diberikan untuk semua item.

Selain itu proses pemberian izin yang selama ini hanya tujuh hari berubah menjadi 90 hari lebih, dan barang yang menggunakan Chips, layer, automobiles dan bahan petrokimia dapat dengan mudah di berikan izin, sedangkan setelah penghapusan Korsel dari daftar putih negara-negara yang dipercayai oleh Jepang maka proses perolehan izin adalah sekali dalam 6 bulan.

Hubungan buruk antara Jepang dan Korea Selatan ini juga mempengaruhi hubungan intelijen kedua negara yang harusnya bersatu untuk menyeimbangkan kekuatan politik di Asia Pasifik, terutama untuk menyeimbangkan kekuatan politik ekonomi Cina. Dengan memburuknya hubungan diplomatik kedua negara, Cina bisa memperoleh keuntungan besar karena perpecahan kekuatan di Asia Pasifik akan menjadikan Cina mampu menguasai Kawasan tersebut. Jepang dan Korea Selatan adalah sekutu dari AS dan masing-masing membuka rahasia intelijen mereka ke AS. Meskipun demikian, runyamnya hubungan kedua negara bisa membuka celah yang besar untuk konflik di Asia Pasifik

Dampak untuk Indonesia

ndonesia, selama ini tidak mampu mendapatkan keuntungan dari perang dagang antara China dan AS. Terlihat dari pertumbuhan GDP dari segi ekspor tidak mengalami perubahan signifikan, terlebih dari Indonesia tidak mampu memperoleh kue investasi dari perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea Selatan yang memilih hengkang dari China akibat eskalasi perang dagang yang menyebabkan naiknya biaya produksi dan menurunnya keuntungan karena biaya pajak yang tinggi. Ini berarti dengan memburuknya hubungan Jepang dan Korea Selatan, harga komponen alat elektronik termasuk handphone dan Komputer buatan Korea Selatan akan semakin meroket.

Ponsel pintar Samsung menguasai 25,4 persen pasar atau lebih dari 100 juta pengguna di Indonesia. Ini tentu akan menyebabkan pelonjakan harga barang-barang elektronik, yang sudah pasti akan berimplikasi pada pelemahan nilai tukar rupiah dan yang paling penting membebani konsumer dengan meningkatnya harga barang komponen elektronik. Sementara itu, Indonesia belum mampu memproduksi sendiri teknologi modern di tengah makin pesatnya persaingan antar Jepang, Korea Selatan, China dan AS. Indonesia hanya bisa jadi penonton dan menunggu dampak pertarungan global ini memberi dampak pada dompet para pengguna handphone.

Editor: PARNA
Sumber: kumparan