PT Krakatau Steel (Persero) Tbk kembali merugi. Kali ini, perusahaan pelat merah yang bergerak pada industri baja tersebut mencatat rugi sebesar USD 211,912 juta atau sekitar Rp 2,96 triliun (kurs Rp 14.000) selama sembilan bulan pertama di 2019.

Di periode yang sama tahun lalu, Krakatau Steel juga mencatat kerugian sebesar USD 37,382 juta atau sekitar Rp 523,34 miliar. Kinerja keuangan Krakatau Steel tersebut tercatat anjlok 467 persen.

Mengutip laporan keuangan yang disampaikan perseroan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), perseroan membukukan pendapatan bersih sebesar USD 1,053 miliar atau sekitar Rp 14,7 triliun pada kuartal III-2019, turun dari kuartal III-2018 yang senilai USD 1,276 miliar atau Rp 17,8 triliun.

Pendapatan yang tertekan ini berasal dari penjualan produk baja di pasar lokal yang turun dari USD 1,09 miliar menjadi USD 776 juta. Sebaliknya, penjualan produk baja di pasar luar negeri tumbuh dari USD 33,206 juta menjadi USD 90,921 juta.

Sejalan dengan itu, beban pokok penjualan tercatat turun dari USD 1,161 miliar menjadi USD 995,353 juta. Dengan demikian, perseroan memperoleh laba kotor senilai USD 57,720 juta, turun dari sebelumnya USD 114,176 juta.

Beban keuangan pada kuartal III 2019 tercatat senilai USD 92,824 juta. Jumlah ini naik dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang senilai USD 79,106 juta.

Jumlah aset perseroan tercatat senilai USD 4,29 miliar. Sementara jumlah liabilitas tercatat senilai USD 2,68 miliar, naik dari sebelumnya USD 2,49 miliar.

Sebagai informasi, Krakatau Steel tercatat terus merugi sejak tahun 2012 lalu. Keuangan perusahaan tak pernah sehat hingga saat ini, meski nilai kerugiannya terus berkurang dari tahun ke tahun.

Sepanjang 2018 lalu, industri baja nasional memang tertekan di dalam negeri. Penyebabnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja yang membuat baja impor membanjiri Indonesia sehingga baja Krakatau Steel kalah saing.

Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim pun mengkritik kebijakan ini dan meminta aturan ini untuk direvisi.

Kementerian Perdagangan pun menghapus aturan ini pada Januari 2019 dan mengembalikannya ke aturan lama, yakni pengawasan impor besi dan baja akan dilakukan melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Pengawasan baja akan kembali dan berada di bawah Ditjen Bea dan Cukai. Terkait penurunan kinerja keuangan pada kuartal III-2019, Silmy belum merespons konfirmasi kumparan.

 

Editor: PAR
Sumber: kumparan