Thailand masih menjadi raja di sektor otomotif di Asia Tenggara. Mengutip ASEAN Automotive Federation (AFF), mereka mencatatkan angka total produksi mencapai 1.403.153 unit sepanjang Januari-Agustus 2019. Di mana, mayoritasnya yakni 717.501 unit diserap pasar ekspor dan sisanya 685.652 unit untuk pasar domestik.

Sebagai perbandingan, Indonesia, mengacu data periode yang sama, total produksi roda empatnya mencapai 831.708 unit: 660.720 unit domestik dan 170.998 unit ekspor.

Di tengah upaya mengejar Thailand dan memperbaiki capaian rapor, ekspor mobil Indonesia rupanya bakal terganggu. Sebab, Vietnam tengah berupaya meningkatkan industri otomotifnya dan berusaha menarik pemain global untuk menyuntikkan investasi.

“Ada pertarungan baru, setelah sebelumnya Thailand kini ada Vietnam, dan mereka serius bekerja sekarang itu, kita –Indonesia– mesti konsentrasi dan fokus juga,” ucap Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Johannes Nangoi, kepada kumparan, Minggu (21/10).

Dampaknya, ekspor produk otomotif Indonesia ke Vietnam mulai terganggu sejak 2018. Mobil produksi Indonesia tertahan karena pemberlakuan persyaratan non-tarif melalui Peraturan Pemerintah Vietnam No 116/2017IND-C –vehicle type approval (VTA), emission & safety test.

Tak cukup sampai di situ, Vietnam pun berencana menelurkan Special Consumption Tax (SCT), yang memungkinkan pengenaan pajak yang lebih rendah untuk produk-produk yang diproduksi di dalam negeri. Besar kecilnya insentif sendiri berdasarkan tingkat kandungan lokal produk tersebut.

“Memang terus terang, saya memang belum mempelajarinya dengan detail, tapi memang kebijakan Vietnam tersebut bisa membuat kita agak sedikit susah untuk mengekspor mobil,” tuturnya.

Duta Besar RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, mengatakan produk otomotif Indonesia yang masuk ke Vietnam menembus 28.169 unit atau senilai 393 juta dolar AS atau Rp 5,6 triliun sepanjang Januari-Agustus 2019.

Jumlah tersebut, kata Ibnu, secara nilai naik 533 persen dibandingkan periode sama tahun 2018.

Solusi

Indonesia, menurut Ibnu, perlu menyikapi secara bijak terkait rencana penerbitan SCT. Lagipula, regulasi ini belum diimplementasikan.

“Tidak usah terlalu bereaksi. Ketetapan tersebut belum berlaku, tapi terus kita monitor bersama. Sampai saat ini belum ada kabar kapan diberlakukan, dan kalau pun sudah kita lihat efeknya dalam 3-6 bulan ke depan.”

Ibnu menambahkan, Indonesia lebih baik mengoptimalkan ekspor ekspor kendaraan secara terurai (CKD) ke Vietnam.

“Cuma katanya nilai tambahnya jadi mengecil, karena yang diekspor kan bukan barang jadi. Namun jangka panjangnya, kita melihat ASEAN sudah jadi satu komunitas –single economic community, production, dan market. Jadi memang ASEAN berintegrasi satu sama lain,” tutur Ibnu.

Bagaimanapun, masing-masing negara punya wewenang untuk melakukan proteksi terhadap industri dalam negerinya. Pun bila ada indikasi pelanggaran bisa mengajukan ke World Trade Organization (WTO).

“Namun apabila tidak, ya itu kenyataan di lapangan dan tinggal bagaimana kita menyiasati,” imbuh Ibnu.

Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Industri, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Johnny Darmawan Danusasmita, mereka masih melakukan kajian apakah kebijakan itu melanggar aturan WTO.

“Kita juga sudah menyikapi, kita sudah datang beberapa kali. Kalau mereka mau terapkan ya bagaimana, karena kalau dibilang melanggar WTO juga masih tanda tanya. Jadi kita harus pelajari,” katanya.

 

Editor: PAR
Sumber: kumparan