Menteri ESDM Ignasius Jonan mengungkapkan, air laut Jakarta sudah sampai Monas. Ini terjadi karena permukaan tanah ibu kota yang terus turun akibat tak terkendalinya pengunaan air tanah dari sumur bor dan padatnya beban bangunan.

Jika kejadian ini terus berlangsung, dampak lingkungan terus meluas dan berujung pada Jakarta tenggelam.

“Intrusi air lautnya sudah sampai monas area utara. Kalau dibiarkan terus, intrusi air lautnya makin parah. Ekologi lingkungannya makin banyak,” kata dia dalam diskusi di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (15/10).

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, pada 2018 bahkan permukaan tanah di Jakarta Utara, khususnya Ancol turun hingga 12 centimeter per tahun. Penurunan ini terus terjadi sampai detik ini.

Kata Jonan, jika tak diperhatikan, dalam waktu 10 tahun tanah Jakarta bisa turun 1 meter. Dengan begitu, 50 tahun lagi penurunan bisa sampai 5 meter.

 

 

Jika sudah segawat itu, benarkah Jakarta bakal tenggelam? Kapan waktunya?

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar mengaku belum mengetahui secara pasti kapan Jakarta tenggelam. Dia bilang, jika tak diupayakan pembenahan sejak saat ini, maka dampak penurunan permukaan tanah di Jakarta bisa dirasakan puluhan tahun mendatang, bahkan bisa tenggelam ratusan tahun lagi.

“Kalau pastinya kapan, saya enggak tahu. Tapi indikasinya bisa dilihat dari benteng di garis pantai teluk Jakarta sudah masuk air laut. Jakarta kan luas, perlu ratusan tahun (mungkin bisa tenggelam). Mungkin kalau puluhan tahun saya tidak percaya. Tapi indikasi Jakarta mulai kemasukan air laut sudah terlihat,” kata Rudy.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Rudy mengatakan, selain penggunaan air tanah, Rudy mengatakan, ada dua alasan lain yang menyebabkan permukaan tanah turun yaitu beban bangunan berat di suatu wilayah sehingga lapisan di bawahnya turun. Lalu, natural konsolidasi tanah misalnya lempung atau pasir halus.

“Yang bisa kita kontrol adalah pengambilan air tanah, pengaruhnya 20-30 persen. Kedua, beban bangunan sebab tumpuan bangunan itu sangat penting. Kalau alasan naturalnya sifat tanah enggak bisa kita kontrol,” jelas dia.

 

 

Upaya lain adalah dengan mengetatkan pemberian izin pembangunan sumur bor. Dengan aturan ini sejak 2015, kata dia, muka air tanah naik jadi 35 meter di bawah permukaan laut. Padahal pada 2013, di Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta muka air tanah sekitar 40 meter di bawah permukaan laut.

“Jadi kenapa bisa naik dari permukaan air tanah? Karena pengambilan airnya dibatasi, sebab itu berada di zona rusak. Jadi selama masih ada supply dari hulu, akan naikkan. Air itu dinamis dari asalnya, selama capai satu keseimbangan dia akan tetap,” kata dia.

Sementara Jonan mengimbau agar seluruh masyarakat Jakarta memanfaatkan air permukaan tanah yang diolah oleh PDAM. Selama ini PDAM baru memenuhi 40 persen kebutuhan air di Jakarta, sisanya 60 persen dari air tanah sumur bor.

“Saya di rumah pakai PDAM. Memang air PDAM hanya bisa melayani sebagian; saya enggak tahu angka persisnya. Kalau perlu diekspansi, mengelola airnya dari sungai, waduk atau apa. Jadi tidak dari air tanah karena bebannya besar,” jelasnya.

 

 

 

 

Editor: PAR
Sumber: kumparan