BATAM – Wirya Putra Sar Silalahi menyebut Uang Wajib Tahunan atau UWT tanah luas di bawah 200 m2 bisa saja dibebaskan namun akan berefek kepada pendapatan BP Batam.Hal ini, kata Anggota DPRD Provinsi Kepri, mengacu dari janji Menteri ATR/Kepala Sofyan Djalil dan Ex Officio Pimpinan BP Batam beberapa waktu lalu yang menyebutkan akan membebaskan UWT untuk tanah di bawah 200 m2.

Sesuai dengan dasar operasional BP Batam saat ini, berdasarkan PP Nomor 62 Tahun 2019, yang merupakan revisi dari PP Nomor 46 Tahun 2007, yang dasarnya adalah UU Nomor 36 Tahun 2000, yang merupakan wujud dari disahkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2000 menjadi Undang Undang.
Perpu Nomor 1 Tahun 2000, Pasal 16, ayat (1): “Badan Pengusahaan mengusahakan sumber-sumber pendapatan sendiri untuk membiayai rumah tangganya”.
Artinya, kata Wirya, BP Batam dapat mencari sumber-sumber pendapatan sendiri.

Dalam hal ini, BP Batam mendapatkan pemasukan dari UWT BP Batam, pendapatan pelabuhan laut, bandara dan lain-lain. Penerimaan UWT adalah penerimaan bukan pajak, yang mana penentuan tarif bukan pajak ditetapkan oleh menteri keuangan.
Jadi, penentuan tarif UWT tidak bisa hanya Kepala BP Batam yang memutuskannya, tetapi itu ditetapkan oleh menteri keuangan, menjadi Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Kepala BP Batam hanya mengujukan usulan dan berdasarkan kajian menteri keuangan, dibuatlah PMK untuk perubahan tarif UWT di Batam.
Pertanyaan selanjutnya, bukan bisa atau tidak bisa membuat bebas UWT BP Batam untuk tanah kavling rumah luas di bawah 200 m2, tetapi mungkin bagaimana efek terhadap penerimaan BP Batam.
Struktur Anggaran BP Batam 2018, kira-kira sebagai berikut:
Anggaran = Rp. 1.682.000.000.000
Pendapatan = Rp. 1.300.000.000.000
Subsidi APBN = Rp. 382.000.000.000

Pendapatan terdiri dari:
UWT = Rp. 672.000.000.000
Bandara = Rp. 259.000.000.000
Pelabuhan Laut = Rp. 336.000.000.000
Lain-lain = Rp. 420.000.000.000
Bila menyimak kondisi BP Batam yang sudah mengalokasi lahan sampai sekitar 27.000 ha saat ini, bila diasumsikan tarif UWT rata-rata Rp. 60.000 per m2, maka seharusnya penerimaan BP Batam dari UWT per tahun adalah kira-kira Rp. 810.000.000.000 artinya sudah sekitar 83% tercapai.
Dan apa efeknya jika tidak diberlakukan tanah di bawah 200 M2 tidak dikenakan UWT?
Dari data, ada sekitar 400.000 parsil kavling rumah, bila kita anggap rata-rata luas tanah 60 m2, dan tarif UWT Rp. 55.000 per m2, maka ada sekitar 2.400 ha untuk perumahan.
“Bila ini dibebaskan UWT, maka akan ada kehilangan maksimum penghasilan Rp. 66.000.000.000 per tahun atau sekitar 10% dari penghasilan UWT atau 5% dari total pendapapatan BP Batam,” ucap alumni Insitut Teknologi Bandung ini menambahkan.
Artinya, bila kita membebaskan UWT untuk luas tanah di bawah 200 m2, kita akan kehilangan pemasukan sekitar Rp. 66.000.000.000 per tahun, atau sekitar 10% dari pendapatan dari UWT, atau kehilangan 5% dari penerimaan total.
Mungkinkah ini, mungkin saja. Asalkan BP Batam sudah siap menerima konsekuensi ini. Tetapi sebenarnya ini, masih bisa dikompensasi dengan:
1. Masih ada sebesar Rp. 132.000.000.000 lagi, UWT yang belum tertagih.
2. Masih ada sikitar 2.000 ha lagi lahan BP Batam yang masih bisa dialokasikan. Artinya ada potensi pemasukan sekitar Rp. 60. 000.000.000 per tahun lagi.
3. Masih ada tanah di pulau-pulau Relang sekitar 15.000 ha yang bisa dialokasikan. Kalau asumsi tarif Rp. 30.000 per m2, maka masih ada potensi pemasukan sebesar Rp. 375.000.000.000 per tahun.
4. Kalau bisa ditingkatkan pemasukan Bandara Hang Nadim dan Pelabuhan Laut, sebesar 10% saja, maka akan ada potensi pemasukan sebesar Rp 60. 000.000.000 per tahun.
“Total potensi pemasukan ada sekitar Rp. 627.000.000.000 setahun, sepuluh kali lipat atau 1.000% dari potensi kehilangan penerimaan dari dibebaskannya UWT kavling tanah perumahan dengan luas di bawah 200 m2,” paparnya.
”Jadi, siapa takut membebaskan UWT BP Batam untuk lahan perumahan luas di bawah 200 m2. ,” pungkas Wirya, kemarin.

 

 

 

Editor: PAR