Jakarta – Ibarat mobil yang melaju tak tentu arah di tengah persimpangan jalan, rokok elektrik tak tahu mau ke mana. 

Rokok elektrik atau vape telah memakan korban jiwa. Meski demikian, vape kian populer dan terus beredar di pasaran tanpa ada regulasi yang jelas.

Vape telah membuat setidaknya 19 orang meninggal dunia dengan lebih dari 1.000 kasus penyakit paru-paru per Jumat (4/10) di Amerika Serikat. Penyakit paru-paru terkait vape (VAPI) ini telah ditetapkan sebagai epidemi.

Di Indonesia, kasus penyakit paru-paru terkait vape itu kemungkinan juga terjadi. Namun, karena VAPI tergolong sangat baru, tak ada tata laksana untuk diagnosis dan pencatatan.

“Kasus penyakit paru terkait vape ini mungkin terjadi di Indonesia. Hanya saja tidak ada pencatatan dan pelaporan seperti di AS. Saya menangani satu kasus dan rekan sejawat saya juga satu kasus yang dicurigai terkait vape,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto, beberapa waktu lalu.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan dengan tegas melarang penggunaan rokok elektrik karena ancaman bahayanya yang dianggap sama dengan rokok konvensional. Sejumlah penelitian menunjukkan vape berhubungan langsung dengan penyakit paru-paru, jantung, sistem kekebalan tubuh, kanker, dan otak.

IDI mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah untuk melarang peredaran vape karena kandungan yang berbahaya.

Sama seperti rokok konvensional, cairan vape mengandung nikotin, bahan karsinogenik, dan toksik. Bahan-bahan yang terkandung di dalam vape seperti glikol, gliserol, alkanal, formaldehida, dan logam dapat merusak paru-paru, sistem ekskresi, dan sel-sel di dalam tubuh.

“Kami mengusulkan peraturan pelarangan vape di Indonesia sampai dinyatakan aman,” kata ahli kesehatan masyarakat Widyastuti Soerojo, mewakili IDI.

Menurut Widyastuti, promosi vape sebagai cara yang tepat untuk berhenti merokok konvensional dan tidak lebih berbahaya adalah tidak tepat.

Berdasarkan data Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pada 2018, terdapat lebih dari 300 produsen cairan vape, dengan lebih dari 150 distributor/importir, 5.000 pengecer, dan 1,2 juta pengguna vape di Indonesia.

Ketua Humas APVI, Rhomedal Aquino mengakui bahwa produk vape tak sepenuhnya aman. Namun, lanjut dia, setidaknya vape lebih tidak berbahaya jika dibandingkan dengan rokok konvensional. 

Rhomedal mengatakan, pihaknya telah beberapa kali mengirimkan surat yang ditujukan untuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Tapi enggak pernah direspons,” kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/10).

Alih-alih keukeuh dengan klaim kesehatan vape, APVI justru terbuka dan berharap ada ajakan dari BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk melakukan sebuah penelitian demi memperjelas dampak rokok elektrik yang masih simpang siur hingga saat ini. “Dan kami yakin hasilnya positif, kok,” kata Rhomedal.

Saling Lempar 

Selain IDI, sejumlah pihak juga telah melontarkan dorongan mengenai perlunya sebuah regulasi yang mengatur peredaran vape. Namun, beragam imbauan ini seolah tak digubris. 

Vape masih tetap beredar tanpa adanya aturan yang jelas. Hingga saat ini, regulasi yang ada hanya terkait penetapan cukai sebesar 57 persen untuk produk rokok elektrik. Alih-alih mencari jalan keluar, kementerian dan lembaga terkait justru saling lempar tanggung jawab.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang serupa dengan FDA di AS mengaku belum memiliki kewenangan terkait peredaran rokok elektrik. “Sampai saat ini belum ada regulasi terkait peredaran rokok elektrik,” ujar Kepala BPOM, Penny Lukito kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/10).

Penny menjelaskan BPOM hanya diberikan mandat untuk melakukan pengawasan yang bersifat pascapemasaran untuk tembakau, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

BPOM sendiri telah melakukan studi terkait vape pada 2015 dan 2017. Studi menghasilkan rekomendasi rokok elektrik menimbulkan dampak negatif lebih besar dibandingkan potensi manfaat bagi kesehatan masyarakat. Kandungan e-liquid dan uap vape dapat berakibat negatif untuk kesehatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: PAR

Sumber: kumparan