Reputasi Joker sebagai villain sinting sudah digambarkan dengan baik oleh Heath Ledger dan Jack Nicholson lewat film masing-masing. Tapi Joker yang diperankan dua aktor itu hanya menjadi bagian dari kisah Batman.
Kesintingan sang badut tak pernah dijelaskan dengan proporsional. Apa yang membentuknya menjadi manusia jahat?
Perdebatan mengenai sifat dasar manusia sudah menjadi bahasan para filsuf dunia selama beberapa abad. Aristoteles berpendapat bahwa moralitas terbentuk lewat proses pembelajaran, dan manusia lahir sebagai makhluk amoral, sementara Sigmund Freud mengibaratkan manusia yang baru lahir sebagai kertas putih.
Filsuf Inggris Thomas Hobbes menggambarkan manusia sebagai ‘makhluk jahat’ dan ‘kejam’, sehingga dibutuhkan masyarakat dan aturan agar beradab. Argumen ini dikritik filsuf Swiss, Jean-Jacques Rousseau, yang berpendapat bahwa manusia bisa menjadi makhluk yang lembut dan murni selama tak ada korupsi, keserakahan dan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh sistem kelas yang dipaksakan oleh masyarakat kita.
Joker adalah penggambaran paling tepat atas pendapat Jean-Jacques Rousseau. Sebelum jadi orang jahat dan meminta dirinya dipanggil dengan sebutan Joker, cita-citanya sangat sederhana; menghadirkan tawa dan senyuman untuk semua orang.
Ia bercita-cita menjadi stand-up comedian meski tahu punya penyakit saraf yang membuatnya tertawa tak terkontrol. Tawa, bagi banyak orang, adalah ekspresi kebahagiaan. Sementara bagi Joker, tiap tawa adalah rasa sakit dan penderitaan. Ia masih semangat menulis materi komedi di buku catatannya, meski semua orang tak tertawa dengan leluconnya. Bahkan ibunya sendiri yang ia sayangi dan rawat dengan telaten menyebutnya tak berbakat melucu.
Arthur Fleck, nama lahir Joker, hanya mengenal kemalangan dan penderitaan sejak lahir. Ia menjadi korban kekerasan dari orang tua, masuk rumah sakit jiwa di masa remaja, dan menjadi badut yang di-bully saat kembali ke masyarakat. Sedikit kewarasannya dijaga dengan bantuan obat dari pemerintah dan bimbingan konseling seadanya.
Kemiskinan—yang menjadi sumber banyak permasalahan di dunia—memang salah satu pemicu, tapi bukan yang utama. Kesintingan Joker lahir karena sistem kelas yang membuat manusia tidak lagi memandang manusia lain dengan setara. Sehingga, Joker dan jutaaan penduduk Gotham lainnya, menjadi orang terbuang.
“Bahkan jika mayatku ada di jalan, mungkin kalian hanya akan melangkah begitu saja,” kata Joker kepada Murray Franklin (Robert De Niro), host talkshow idola Arthur yang punya peran bikin Joker makin sinting.
Bagi Arthur Fleck yang tak pernah merasa bahagia bahkan selama satu menitpun, hidup adalah tragedi. Tapi bagi Joker yang sudah muak dengan sistem, manusia, dan aturan bagaimana dunia berputar, hidup adalah komedi.
Maka ketika Joker melakukan aksi yang memicu kekacauan, ia menjadi simbol perlawanan terhadap sistem. Ia dianggap Dewan Perwakilan Rakyat sesungguhnya bagi para manusia terbuang. Joker bukan lagi sebuah nama seorang badut anarkis. Ia tumbuh menjadi ideologi
Film Joker Dinilai Punya Efek Berbahaya
Nonton film Joker memberikan pengalaman sinematik menyenangkan, namun di saat bersamaan memberikan nuansa gelap yang depresif. Standing applause selama 8 menit di Venice Film Festival 2019 dan Golden Lion Prize untuk film tersebut memang pantas.
Sutradara Todd Phillips memberikan tontonan berkualitas secara storytelling maupun visual. Saking berkualitasnya, efek menonton film ini dinilai bisa memberi inspirasi tindakan berbahaya di dunia nyata. Setidaknya, menurut beberapa kritikus. Cerita Joker mungkin terasa begitu relevan dengan kisah banyak orang, juga relevan dengan kondisi masyarakat di beberapa negara yang muak dengan sistem pemerintahan. Bukan tidak mungkin ada yang menganggap Joker sebagai pahlawan.
‘Joker’ baru tayang di bioskop Amerika Serikat pada Jumat (4/10). Sejumlah jaringan bioskop memberlakukan peraturan ketat saat pemutaran film yang dibintangi Joaquin Phoenix itu. Pemakaian kostum Joker, topeng Joker maupun makeup Joker dilarang bagi penonton di bioskop Landmark Theaters. Jaringan bioskop berbasis Los Angeles itu mengoperasikan 52 bioskop di 27 pasar.
Langkah Landmark itu mengikuti peraturan yang lebih dulu berlaku di jaringan bioskop terbesar di AS, AMC Theatres. Mereka melarang penggunaan topeng di 650 bioskop mereka sejak penembakan massal di Colorado pada 2012 saat pemutaran film Batman ‘The Dark Knight Rises’. Tragedi itu menewaskan 12 korban dan melukai 70 orang. Sang pelaku, James Holmes, memakai kostum seperti Joker saat melakukan aksi brutal tersebut.
Los Angeles Police Department (LAPD) sudah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan mengerahkan petugas untuk berpatroli di sejumlah bioskop yang menayangkan film ‘Joker’. Tapi sejauh ini, menurut LAPD, belum ada ancaman serius.
Sutradara Todd Phillips merespons sejumlah kritikus yang melabeli filmnya ‘berbahaya’. Menurut sutradara film trilogi ‘The Hangover’ itu, menonton Joker haruslah dengan pikiran terbuka.
Editor: PAR
Sumber: kumparan
“… because art can be complicated,” katanya.