Jakarta – Presiden Joko Widodo menyatakan bakal mempertimbangkan usulan masyarakat sipil untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perppu KPK.

Ia menyampaikan hal ini usai bertemu puluhan tokoh masyarakat, mulai akademisi, seniman, hingga budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jokowi ingin menghitung dan mengkalkulasi penerbitan aturan pengganti UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan bersama DPR pada 17 September lalu. Ia juga berjanji mengambil keputusan ini dalam waktu singkat.

Namun, tak berselang lama usai Jokowi menyampaikan rencananya itu, Ketua Umun Partai NasDem Surya Paloh mengatakan bahwa presiden dan partai politik pengusung satu bahasa untuk menolak mengeluarkan Perppu KPK.

“Jelas presiden bersama seluruh partai-partai pengusung mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara nggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu,” kata Surya di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/10).

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berharap Jokowi memutuskan untuk menerbitkan Perppu KPK, sebagaimana aspirasi yang disampaikan masyarakat sipil. Bivitri adalah orang yang turut ikut bersambang ke Istana ketika Jokowi bertemu puluhan tokoh beberapa waktu lalu.

Jika Paloh benar bahwa Jokowi tak akan menerbitkan Perppu KPK, kata Bivitri, maka jelas presiden terpilih itu lebih condong kepada kepentingan partai politik.

“Ketimbang apa yang terjadi di luar sini, yang mahasiswanya sudah ada yang meninggal, digebukin polisi,” kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (2/10).

Bivitri menyatakan keputusan Jokowi soal Perppu KPK ini akan memperlihatkan posisi yang sebenarnya dalam agenda pemberantasan korupsi. Jokowi berjanji akan memperkuat KPK dalam janjinya ketika Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019.

Menurut Bivitri, UU KPK hasil revisi yang disepakati DPR bersama pemerintah itu justru melemahkan lembaga yang berdiri sejak 2003 lalu. Ia mengaku telah menyampaikan kajian terkait pelemahan KPK melalui revisi UU itu ke Jokowi.

“Jadi kalau dia mengeluarkan Perppu sebenarnya ini langkah yang baik sekali sebenarnya. Juga bisa mengembalikan posisinya,” ujarnya.

“Kalau misalnya benar (tak mengeluarkan Perppu KPK), ya berarti nanti kita bisa nilai Pak Jokowi lebih menghitung posisi politiknya terhadap partai politik atau posisi politiknya terhadap rakyat yang sudah memilihnya dan dia wakili,” katanya.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu melihat Jokowi tengah terjebak di antara kepentingan partai dan desakan publik dalam polemik revisi UU KPK. Menurutnya, dalam kondisi ideal, wakil rakyat seperti anggota DPR maupun presiden menjadi wakil kepentingan masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, apa yang diharapkan rakyat tak sejalan dengan yang diputuskan para wakil rakyat.

“Menurut saya dalam kondisi seperti ini harusnya Pak Jokowi memihak kepada masyarakat. Karena dia dipilih langsungnya oleh kita kok bukan partai politik,” tuturnya.

Di sisi lain, Bivitri melihat ketidaksinkronan antara apa yang diinginkan Jokowi dengan menteri terkait dalam revisi UU KPK ini. Hal ini menunjukkan bahwa menteri yang berasal dari partai lebih loyal kepada partainya ketimbang presiden.

Sikap ini juga tak terlepas dengan statistik KPK terkait kasus yang melibatkan kader partai politik, termasuk puluhan anggota DPR periode 2014-2019. Menurut Bivitri, dengan banyaknya kader partai terjerat korupsi, membuat partai politik kompak

“Jadi mereka kompak sehingga loyalitas partai politik yang lebih kuat ketimbang loyalitas kepada kepala pemerintahan,” ujarnya.

Lawan Partai

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan Jokowi harus berani mengeluarkan Perppu KPK meskipun berlawanan dengan kehendak partai pengusungnya.

Ujang percaya Jokowi akan mengabaikan tekanan partai dan mendengar aspirasi publik.

“Harus berani. Karena jika tidak berani, ya tadi akan berlawanan dengan kehendak rakyat dan mahasiswa,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com.

Ujang melihat gelagat partai pengusung yang menekan Jokowi agar tak mengeluarkan Perppu KPK. Meskipun demikian, Jokowi kali ini akan mendengarkan masukan publik agar mengeluarkan peraturan untuk membatalkan UU KPK hasil revisi diterapkan.

Jika tidak, Ujang memprediksi gelombang demo dari kelompok masyarakat sipil, mahasiswa, hingga pelajar akan lebih besar. Selain itu, presiden terpilih itu akan tak lagi dipercaya oleh masyarakat.

“Jika tidak ada kepercayaan dari mahasiswa dan rakyat, maka akan terjadi delegitimasi politik,” ujarnya.

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia