Jakarta – Guru Besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menyarankan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK diterbitkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebelum pembentukan kabinet pemerintahan periode kedua.

“Supaya presiden memiliki posisi tawar yang tinggi menghadapi partai politik,” kata Syamsuddin, Kamis (3/10) seperti dilansir Antara.

Penerbitan Perppu setelah pembentukan kabinet, kata dia, tentunya bisa saja melemahkan posisi tawar Jokowi terhadap partai politik dalam mendukung langkah penyelesaian polemik revisi UU KPK yang sudah disahkan jadi undang-undang di rapat paripurna DPR.

“Tetapi tidak pula langsung terburu-buru, tunggu Undang-undang KPK sudah punya nomor, walaupun undang-undang tersebut belum atau tidak ditandatangani oleh presiden,” katanya.

Syamsuddin pun menilai sebaiknya Jokowi tak menandatangani undang-undang KPK sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

“Dan saya kira mengingat aspirasi publik sebagaimana juga yang disuarakan kawan-kawan mahasiswa, mestinya presiden tidak menandatangani revisi UU KPK walaupun sudah disetujui oleh pemerintah melalui Menkumham ketika itu dan Menpan RB,” ucap Syamsuddin.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menurut dirinya sangat diperlukan untuk mengembalikan kekuatan KPK dalam memberantas korupsi.

Syamsuddin berpendapat beberapa poin di dalam UU KPK yang telah direvisi seperti dewan pengawas dan izin penyadapan saat penindakan kasus korupsi menjadi salah satu bentuk pelemahan KPK. Sementara KPK selama ini, katanya, tidak ditemukan melakukan pelanggaran soal cara dan metode dari lembaga antikorupsi tersebut melakukan penyadapan.

“Kita tidak bisa bayangkan apabila KPK makin lemah dan kewenangan untuk menindak itu tidak ada, kita membutuhkan KPK dengan penindakan yang kuat selain pencegahan yang kuat pula,” ujarnya.

Perppu KPK pun menjadi salah satu yang diusulkan para tokoh, termasuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta pada 26 September lalu. Setelah pertemuan tersebut, Jokowi mengaku bakal mempertimbangkan sejumlah masukan, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK. Namun, Jokowi enggan menetapkan tenggat waktu kapan keputusan soal itu akan diberikan.

“Tadi sudah saya sampaikan secepat cepatnya, sesingkat-singkatnya [akan diberi keputusan],” ujar Jokowi memungkasi pertanyaan wartawan di Istana Merdeka, Jakarta.

Kemudian, dalam pertemuan dengan parpol koalisi di Istana Kepresidenan Bogor, Jokowi diminta pendukungnya dalam Pilpres 2019 itu agar tak buru-buru menerbitkan Perppu KPK. Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan meminta agar Jokowi mengeksplorasi pilihan lain terkait hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK lebih dahulu. Walhasil, Perppu pun diminta jadi opsi terakhir.

“Kami tidak beri masukan secara spesifik. Hanya tentu partai politik menyampaikan bahwa opsi Perppu [KPK] harus menjadi opsi paling terakhir karena ada opsi lainnya yang mesti dieksplor juga,” ucap Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10).

Sehari kemudian, Ketua Umum NasDem Surya Paloh mengklaim parpol koalisi dan Jokowi telah satu bahasa terkait wacana penerbitan Perppu KPK.

“Jelas presiden bersama seluruh partai-partai pengusung mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara nggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu,” kata Surya di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (2/10).

Surya Paloh menjelaskan, saat itu ada kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa Perppu tak perlu dikeluarkan saat ini lantaran Undang-undang KPK yang baru disahkan pada 17 September lalu itu sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, kata Surya Paloh, polemik revisi UU KPK muncul karena aksi politisasi dengan tujuan menimbulkan hilangnya kepercayaan terhadap Jokowi selaku pemimpin negara.

“Salah lho. Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisir. Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho,” kata pria yang juga dikenal sebagai pengusaha media massa tersebut.

Yasonna H Laoly, yang kini telah mundur dari jabatan Menkumham karena jadi anggota DPR, mendorong agar UU KPK yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna itu dijalankan dulu dengan menyingkirkan prasangka buruk.

“Jalankan dulu lah, lihat [prakteknya], kalau nanti tidak sempurna buat legislative review. Belum dijalankan kok sudah suuzan. Kan enggak begitu caranya. Jalankan dulu,” kata Yasonna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (2/10).

Saat pengesahan revisi UU KPK jadi undang-undang di DPR pada 17 September lalu, unsur pemerintah diwakili Yasonna yang masih menjabat Menkumham dan Menpan RB Syafruddin.

Sementara itu, dua hari lalu lembaga survei KedaiKOPI merilis hasil jajak pendapat terkait respons publik atas revisi UU KPK.

“Persepsi publik terhadap revisi UU KPK pun beragam, 55,2 persen responden berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK, 33,1 persen menolak berpendapat, dan hanya 11,7 persen yang berpendapat revisi UU KPK akan memperkuat KPK,” kata Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10).

Survei dilakukan menggunakan metode telesurvei terhadap 1.194 responden di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 469 orang dari jumlah itu merespons survei. Survei dilakukan pada 28-29 September 2019 dengan tingkat kesalahan (margin of error) kurang lebih 4,53 persen.

Di satu sisi, lewat kajian analisis tim internal, KPK menyatakan setidaknya terdapat 26 persoalan revisi UU KPK yang justru berisiko memperlemah kinerja lembaga antirasuah tersebut. Salah satunya, kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah adalah pelemahan independensi KPK dengan diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN. Pun, risiko itu terdapat dalam posisi dan fungsi Dewan Pengawas yang merupakan entitas baru hasil revisi UU KPK.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia