“Aduh lemas banget nih, enggak bisa kerja,”
“Sumpah, selama jadi vegetarian gue jam 9 (malam) sudah tidur, gampang ngantuk,”
“Tega banget, gue tadi lihat ada rawon yang dagingnya ngambang-ngambang, sedih gue enggak bisa makan!”
Begitulah kira-kira keluh-kesah yang keluar dari mulut kami. Tak jarang keluh kesah ini bikin teman kantor resah. Ada yang bahkan kami jauhi ketika mereka sedang makan ayam geprek dengan sambal. Kulit ayamnya terlihat begitu seksi, sementara aromanya semerbak.
Bukan tanpa alasan kami mencoba menjalankan hidup menjadi vegetarian, melainkan ini menjadi bentuk peringatan akan World Vegetarian Day.
Bertahan di tengah godaan restoran ‘all you can eat 99k’ yang sedang marak sekarang ini, dan memutuskan untuk menjalankan tantangan seminggu menjadi vegetarian, tidaklah mudah. Kami mengeluh, merasa gusar setiap hari. Rasa lapar menghampiri kami sepanjang hari.
Apalagi, di Jakarta ini untuk mendapatkan asupan vegetarian cukup sulit. Beberapa tempat makan yang menyajikan menu vegetarian harganya cukup menguras kantong.
Kami mengakalinya dengan makan seadanya (Warteg adalah penolong!), dan belanja beberapa stok sayuran serta buah. Padahal biasanya di kantor, kami menikmati pecel ayam renyah saat makan siang, atau mencicipi daging lembut nan juicy yang menggoda saat meliput. Kami harus tahan!
Buat kami, tantangan ini memang sulit. Bahkan terasa lebih sulit daripada ketika seminggu tanpa kopi. Mungkin karena ini urusan perut, bukan hanya sekadar melepas dahaga atau menahan kantuk.
Tentu bagi pemakan daging, ada beberapa efek yang dirasa ketika benar-benar tidak mengonsumsinya. Sebagai catatan, kami masih makan telur dan susu. Berikut beberapa imbas yang kami rasakan ketika seminggu mencoba jadi vegetarian:
1. Badan rasanya lemas dan mudah mengantuk
“Aduh lemas banget nih, enggak bisa kerja,” kata Safira, salah seorang reporter kumparan yang juga ikut dalam challenge ini. Safira memang tampak lemas saat itu, ia merasa gairah bekerjanya menurun karena asupan protein yang kurang. Bahkan, makan siangnya tak habis karena tidak ada daging.
Rupanya ini lumrah terjadi, karena seketika nutrisi dalam tubuh tak seimbang. Termasuk dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan jurnal Nutrients tahun 2016 menemukan, vegetarian bisa berisiko kekurangan nutrisi tertentu, termasuk kekurangan vitamin B12 dan zat besi.
“Vitamin B12 penting dalam menjaga fungsi otak dan aliran darah yang tepat ke seluruh tubuh kita yang terutama ditemukan dalam produk hewani. Itulah sebabnya, seseorang yang mengikuti gaya hidup vegetarian atau vegan akan mengalami kekurangan konsentrasi dan merasa lemas,” jelas Amanda Hostler, spesialis nutrisi terapi di Houston, yang dikutip dari The Healthy.
Kekurangan asupan daging, lanjut Amanda, juga menyebabkan jumlah sel darah merah berkurang. Akibatnya, mudah lemas atau pusing, bahkan dalam kasus yang lebih parah bisa menyebabkan anemia megaloblastik.
Selain merasa lemas, kami juga mudah mengantuk. “Sumpah, selama jadi vegetarian gue jam 9 (malam) sudah tidur, gampang ngantuk,” ujar Mela. “Iya, gue juga semalem jam 9 sempat ketiduran,” timpal Toshiko.
Untuk mengatasi kantuk tersebut akhirnya kami perlu meneguk segelas kopi. Bahkan, Mela yang tak biasa minum kopi karena pahit, jadi ikutan meminumnya untuk menahan kantuk, dan tentunya agar tetap bisa konsentrasi bekerja.
2. Mudah lapar
“Aduh masih lapar nih, makan apa ya? ada camilan apa ya?” tutur Toshiko yang padahal beberapa jam lalu baru selesai makan siang. Ini juga dirasakan tim kami lainnya. Kami jadi sering ngemil untuk mengisi perut yang mudah lapar.
Sebagai pengganjal, saya jadi perlu membawa kue keju, pisang atau pir setiap hari. Ini ia lakukan untuk berjaga-jaga jika usai makan perutnya masih lapar. Begitu juga dengan Tyas (reporter) yang terpaksa meminta pisang milik saya karena sekitar jam 18.00 ia merasa sangat lapar.
Bisa jadi mudah lapar ini disebabkan tubuh kami kekurangan protein. Soalnya, menurut sebuah studi dalam Journal of Academy of Nutrition and Dietetics, memakan makanan dengan jumlah protein yang lebih tinggi bisa membuat orang merasa lebih kenyang. Dalam hal ini, makanan tinggi protein yang dimaksudkan adalah daging merah.
Memang selama kami menjalani vegetarian, asupan protein kami hanya dari telur, tahu dan tempe saja; yang hampir setiap hari menjadi lauk andalan.
Misalnya ketika makan siang, kami tak lepas dari menu; telur dadar, telur balado, tahu atau tempe goreng. Beberapa kali, Safira bahkan kalap membeli tahu dan tempe goreng di warung depan kantor karena takut kelaparan.
Asupan protein kami kebanyakan hanya dari protein nabati saja, kami kekurangan protein hewani dari ayam atau daging.
3. Cenderung makan seadanya
Selama vegetarian kami juga memesan makanan seadanya, kebanyakan kami pesan makan di warung tegal (warteg). Karena memang hanya tempat makan itulah yang bisa menyediakan pilihan menu banyak, dan tak menguras kantong.
Di satu sisi, kami merasa vegetarian ini cukup menguntungkan, apalagi saat akhir bulan, jadi bisa mengirit isi kantong.
Tapi, di sisi lainnya kami cenderung bosan karena makanan yang disantap itu-itu saja. Hanya beda cara penyajiannya saja. Ujung-ujungnya kami pesan telur, tahu, tempe, atau tumisan sayur lagi dan lagi.
Beberapa kali untuk menambah variasi, saya juga memasak sendiri menu vegetarian; terutama saat makan malam di rumah.
Biar enggak bosan, saya coba masak shirataki instan tambah telur ceplok, potongan wortel, sama jamur. Not bad-lah, tapi agak pegel ngunyah shiratakinya.
Di malam terakhir vegetarian saya mencoba memasak sendiri cauliflower fried rice; yang dianggap menjadi pilihan nasi goreng sehat berbahan utama kembang kol sebagai pengganti nasi.
Rasanya enak tapi aneh, kaya capcay kering yang sudah dihaluskan.
4. Berat badan bertambah
Alih-alih badan kurus, Toshiko malah mengaku berat badannya naik sekilo selama vegetarian. “Eh, berat badan gue naik nih sekilo selama vegetarian,” ungkap perempuan 27 tahun itu.
Bisa jadi berat badan bertambah ini dipicu karena kami yang mudah merasa lapar tersebut, lalu mengikuti kemauan untuk makan. Soalnya kalau kelaparan kami malah cranky, dan hilang konsentrasi kerja. Apalagi, asupan protein yang kurang membuat kami lemas dan mudah mengantuk.
Selain minum kopi, agar bisa tetap melek kami juga coba mengemil. Makan sedikit-sedikit untuk tetap produktif. Belum lagi beberapa teman kami terlihat menggoda dengan makanan pesanannya yang beberapa kali menggoyahkan hati kami.
5. Emosi tidak stabil
Imbas terakhir yang paling terasa di tim kami adalah emosi yang tidak stabil. Terutama Safira yang kerap melontarkan keluhannya selama vegetarian, sedikit-sedikit ia mengeluh. Begitu juga dengan tim lainnya.
Memang ada anggapan, ketika kita lapar jadi mudah marah. Ini rupanya juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Psikolog dari Guelph University, Profesor Francesco Leri yang menyatakan, ketika lapar membuat glukosa dalam darah menurun (hipoglikemia) dan menyebabkan kita mudah marah.
Jadi, saat perut kosong, tubuh akan memberikan sinyal rasa lapar. Saat itu, glukosa dalam darah menurun secara signifikan, maka otak tak akan mampu melakukan tugasnya dengan baik. Gejala lain yang ditimbulkan karena lapar adalah pusing, cemas, hingga amarah yang memuncak.
“Saya skeptis ketika orang-orang mengatakan bahwa mereka mudah marah saat mereka lapar. Tapi sekarang saya percaya,” ungkap Profesor Leri, seperti dikutip dari Metro UK.
Sementara menurut pimpinan penelitian tersebut, Thomas Horman, orang yang lapar juga mengalami penurunan mood.
“Mereka akan mengalami penurunan mood yang akhirnya jadi tidak nafsu makan. Jika seseorang terus-menerus kehilangan nafsu makan dan mengalami stres, maka hal ini dapat mempengaruhi keadaan emosional mereka secara permanen,” tambahnya.
Ketika profesi jadi tantangan untuk vegetarian
Vegetarian, bagi pemakan daging, menjadi tantangan yang memang tak mudah ditaklukkan. Selain mendapat pengalaman baru, kami juga memetik pelajaran lain bahwa profesi terkait makanan; seperti pakar kuliner, jurnalis makanan, food vlogger, food blogger, atau food enthusiast lainnya kurang cocok jika pengin menjadi vegetarian.
Selain kami dituntut untuk mencoba segala macam makanan, vegetarian juga membatasi wawasan lidah kami. Sementara kami perlu memperkaya pengetahuan rasa, terutama terhadap rasa-rasa yang belum pernah kami cecap sebelumnya. Suka, tidak suka, harus dipelajari.
Jelas, jadi vegetarian adalah tantangan. Nah, apakah kamu pernah berpikir untuk jadi vegetarian? Bila belum, kenapa tidak untuk mencoba minimal satu hari tanpa daging?
Editor: PAR
Sumber: kumparan