Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro telah merekomendasikan kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena agar maskapai Sriwijaya Air berhenti beroperasi.
Rekomendasi tersebut dibuat karena perusahaan tak memenuhi kelaikudaraan untuk bisa terbang.
Dalam surat nomor Nomor: 096/DV/1NT/SJY/1X/2019 tertanggal 29 September 2019 yang salinannya diterima kumparan, Toto menjelaskan, rekomendasi itu diputuskan usai Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melakukan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan Sriwijaya menemukan adanya ketidaksesuaian pada laporan yang disampaikan perusahaan 24 September 2019 pada DKPPU.
Temuan tersebut adalah bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di perusahaan ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan. Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan Line Maintenance.
Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (Tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
Dengan menimbang uraian tersebut di atas, serta keterbatasan Direktorat Teknik untuk meneruskan dan mempertahankan kelaikudaraan dengan baik, belum adanya laporan keuangan sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, dan tata temuan ramp check yang dilakukan oleh Inspektorat DKPPU, maka pemerintah, sebut Toto, sudah mempunyai cukup bukti dan alasan untuk menindak Sriwijaya Air setop operasi karena berbagai alasan yang telah tersebut di atas.
“Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan setelah diskusi dengan Direktur Teknik dan Direktur Operasi sebagai pelaksana safety, maka kami merekomendasikan Sriwijaya Air menyatakan setop operasi atas inisiatif sendiri (perusahaan) atau melakukan pengurangan operasional disesuaikan dengan kemampuan untuk beberapa hari ke depan, karena alasan memprioritaskan safety. Hal ini akan menjadi nilai lebih bagi perusahaan yang benar-benar menempatkan safety sebagai prioritas utama,” ujar Toto dalam surat tersebut dikutip Senin (30/9).
Jika dalam beberapa hari kemudian Sriwijaya Air dengan persiapan yang lebih matang telah merasa siap kembali untuk beroperasi, maka manajemen cukup melaporkan kepada DKPPU untuk kemudian lebih mudah memperoleh izin terbang kembali. Sebaliknya, jika Sriwijaya Air dinyatakan setop operasi karena tidak comply terhadap standar dan regulasi yang berlaku, maka akan jauh lebih sulit untuk mendapatkan izin terbang kembali, dan menjadi preseden buruk di mata seluruh stakeholder dan masyarakat umumnya.
Memang risiko belum tentu terjadi, namun Toto menjelaskan, perusahaan menganalisis dari indikasi yang terjadi dan proses yang ditemukan merupakan hazard berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan dan mendatangkan sanksi terhadap perusahaan dan personel jika dianggap dengan sengaja melanggar atas pasal-pasal dari UU nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.
“Demikian rekomendasi ini disampaikan sebagai kewajiban Director of Quality, Safety & Security, dan untuk keputusan selanjutnya kami serahkan kepada Plt President Director, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih,” jelas dia.
Kronologi Keluarnya Rekomendasi Penghentian Operasi
Dalam surat tersebut, Toto menjelaskan kronologi hasil laporan temuan DKPPU atas kelaikudaraan terbang perusahaan. Berikut kronologinya berdasarkan isi surat:
Mengikuti dan mengamati perkembangan situasi terakhir di perusahaan saat ini, pasca pemberian tenggat masa transisi guna peralihan kepemimpinan di Sriwijaya Air tanggal 24 September 2019 oleh Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Direktur Angkutan Udara, serta pasca diberhentikannya pelayanan line maintenance oleh GMF Aero, dapat kami laporkan bahwa setelah melakukan tinjauan dari segi Perawatan dan Pemeliharaan Pesawat Udara sesuai HIRA20190920-032, kemudian diurai dan dimitigasi menjadi kesepakatan dengan DKPPU :
a. Sriwijaya Air mengerjakan line maintenance sendiri, dengan metode Engineer On Board (EOB) dengan jumlah engineer 50 orang, komposisinya: 20 orang certifying staff, 25 orang RII dan certifying staff, 5 orang management and control. Personel tersebut dibagi dalam 4 grup.
b. Sriwijaya Air akan melakukan kerja sama line maintenance dengan PT JAS Enginering sebagai pemegang AMO 145, dalam 3 hari ke depan (sejak tanggal 24 September 2019).
c. Sriwijaya Air akan melakukan kerja sama brake and wheel dengan PT Muladatu dan PT JAS Engineering sebagai pemegang AMO 145, dalam 3 hari ke depan (sejak tanggal 24 September 2019).
d. Sriwijaya Air menguasai tool and equipment untuk kegiatan line maintenance.
e. Sriwijaya Air memiliki minimum stock consumable part dan rotable part di CGK, SUB, KNO dan DPS, sebagai penunjang operasi penerbangan. Selanjutnya Direktorat Quality, Safety & Security akan mengeluarkan kebijakan, apabila tidak mampu menyediakan komponen yang diperlukan maka pesawat akan di berhentikan pengoperasiannya (AOG).
Sriwijaya Air mempunyai kemampuan mengoperasikan 12 dari 30 pesawat udara yang dikuasai sampai dengan 5 hari ke depan (sejak tanggal 24 September 2019).
Dari serangkaian kegiatan 24 September itu, DKPPU mengawasinya sesuai ketentuan untuk memastikan aspek keamanan terbang maskapai berdasarkan kemampuan yang dimiliki Sriwijaya Air.
Hasilnya, dalam pertemuan dan diskusi bersama Direktur Teknik pada tanggal 28 September 2019, DKPPU melaporkan bahwa ada ketidaksesuaian laporan tertulis perusahaan pada 24 September dengan yang ada di lapangan yang berujung pada rekomendasi Toto kepada Jefferson bahwa perusahaan tak bisa terbang.
Untuk mengonfirmasi isi surat tersebut, kumparan menghubungi beberapa Direksi Sriwijaya Air seperti Direktur Quality, Safety, dan Security Toto Subandoro dan Direktur Legal dan Kepatuhan RA Tampubolon, namun tak ada jawaban. Pun dengan Wakil Komisaris Utama Sriwijaya Air Chandra Lie, juga tak merespons.
Sementara Direktur Komersial Sriwijaya Air yang baru, Rifai Taberi menjawab bahwa dirinya juga tak bisa memberikan pernyataan dan meminta kumparan menghubungi bagian kehumasan Sriwijaya Air.
Head of Media Relations and Internal Communications at Sriwijaya Air Adi Willi Hanhari Haloho hanya menjawab, saat ini perusahaan masih berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan.
“Mohon sabar ya, sedang ada yang diurus bersama Kemenhub. Nanti jika ada pernyataan resmi, saya share ya,” kata Adi Willi kepada kumparan.
Utang Sriwijaya Air
Maskapai Sriwijaya Air memiliki utang triliunan rupiah ke beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari dokumen yang diterima kumparan, Selasa (10/9), total utang Sriwijaya Air Group mencapai Rp 2,46 triliun pada posisi akhir Oktober 2018.
Rincian Utang Sriwijaya Air ke BUMN:
1. Pertamina Rp 942 miliar
2. GMF (Anak Usaha Garuda Indonesia) Rp 810 miliar
3. BNI Rp 585 miliar (Pokok)
4. Angkasa Pura I Rp 50 miliar
5. Angkasa Pura II Rp 80 miliar
Pemberhentian Direksi dan Komisaris
Dewan Komisaris Sriwijaya Air memberhentikan 3 orang direksi. Mereka yang dicopot di antaranya Direktur Utama Joseph Andriaan Saul, Direktur Human Capital & Layanan Harkandri M Dahler, dan Direktur Komersial Joseph Dajoe K Tendean.
Pencopotan tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan nomor 001/Plt.DZ/EXT/SJ/IX/2019 yang dikeluarkan pada Senin, 9 September 2019,
Keputusan pemegang saham Sriwijaya Air tersebut ternyata bukan karena persoalan kinerja. Dari dokumen yang diterima kumparan, Selasa (10/9), pemberhentian tersebut merupakan buntut dari mundurnya Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara (Ari Askhara), Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahyo, hingga Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah dari jabatan Komisaris Sriwijaya Air. Mereka diminta mundur atas rekomendasi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU).
Editor: PAR
Sumber: kumparan