JAKARTA, POJOK BATAM.IDPengusaha mengaku terganggu dengan keberadaan pelaku usaha jasa titipan (jastip) yang memasukkan barangnya secara ilegal. Masalahnya, mereka seringkali lolos dari kewajiban bayar bea masuk, sehingga bisa menjual produknya dengan harga murah.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta tak menyebut pasti berapa potensi nilai kerugian dari pengusaha ritel akibat praktik tersebut. Yang pasti, jika pemerintah tidak segera bertindak menertibkan kecurangan tersebut, penciptaan lapangan kerja di dalam negeri akan ikut terganggu.

“Secara angka kerugiannya sulit dikatakan. Tapi bisnis akan terganggu, pengembangannya akan lamban. Penyerapan tenaga kerja terganggu,” ucapnya, Jumat (27/9).

Selain itu, pelaku usaha domestik juga akhirnya malas untuk memproduksi barang di dalam negeri. Mereka bisa saja berpikir untuk mengimpor barang agar harganya bisa menyaingi pelaku usaha jastip.

“Tapi kan kalau mau impor yang tidak resmi, nanti rugi-rugi juga. Ini dampaknya jadi besar,” tutur Tutum.

Sependapat, Perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Eddy Hussy juga belum memiliki hitungan pasti terkait kerugian yang ditanggung pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya secara resmi. Namun, ia bukannya tak mendukung bisnis jastip.

Asalkan katanya, pelaku usaha jasa titip tersebut mengikuti aturan.

“Jadi kami himbau berbisnis sesuai jalur agar tidak merugikan yang lain. Kami tidak melarang siapa pun, tapi tolong ikuti prosedur,” ujar Eddy.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menindak 422 kasus pelanggaran terhadap pelaku usaha yang menerima jasa titipan (jastip) sejak Januari hingga 25 September 2019. Dari penindakan ini, Heru menyebut ada hak negara sebesar Rp4 miliar.

Pelaku usaha jastip ini menggunakan modus splitting, baik sebagai penumpang pesawat maupun pengiriman barang impor. Mereka melakukan splitting untuk menghindari batasan nilai pajak yang ditentukan oleh pemerintah.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan secara rinci tanda-tanda barang pribadi dan jastip. Namun, hal itu bisa terdeteksi dari jumlah barang yang di bawa oleh penumpang.  “Terus misalnya beli sepatu, ini kan tidak mungkin kalau untuk kebutuhan pribadi tapi nomor sepatu beda-beda,” ujar Heru.

Selain itu, Heru mengaku pihaknya memiliki sistem yang cukup canggih untuk mendeteksi mana barang pribadi dan untuk dijual. Lagi pula, DJBC Kemenkeu juga seringkali mendapatkan laporan dari berbagai pihak mengenai siapa saja yang melakukan bisnis jastip ilegal.

“Banyak sekali aduan dari pelaku usaha sejenis yang merasa dirugikan, yang pecah kongsi. Jadi kami juga mengecek dari laporan itu,” pungkas Heru.

(aud/agt)

Editor: PAR
Sumber: CNNIndonesia