Presiden Jokowi sempat menolak untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK. Namun, setelah gelombang demonstrasi mahasiswa dan pelajar semakin membesar, Jokowi pun berubah pikiran.
Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan Perppu KPK. Hal ini setelah adanya konsultasi Jokowi dengan para tokoh yang diundang ke Istana. Mereka antara lain Mahfud MD, Quraish Shihab, Butet Kertaradjasa, Franz Magnis- Suseno, eks pimpinan KPK Erry Riana Hardjapamekas, dan cendekiawan muslim Azyumardi Azra.
Menurut beberapa kalangan, Jokowi tak hanya meminta pendapat para tokoh-tokoh tersebut. Hal yang paling utama yang dilakukan Jokowi adalah membicarakan penerbitan Perppu ini dengan parpol-parpol lainya, yang menyetujui revisi UU KPK.
“Kalau Jokowi ingin mengeluarkan Perppu tentu Jokowi harus berani meyakinkan semua pimpinan fraksi, yang mendukung penuh semua revisi UU KPK kemarin,” kata pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno saat dihubungi kumparan, Jumat (27/9).
Menurut Adi, meyakinkan ketua fraksi di DPR bahkan ketua parpolnya sekali pun bukan persoalan yang mudah. Adi menambahkan, akan ada konsekuensi politik jika Jokowi menerbitkan Perppu tersebut tanpa berdiskusi dengan parpol-parpol yang menyetujui revisi UU KPK.
“Mengeluarkan Perppu itu artinya, Jokowi menganulir keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Ini sangat terkait dengan komitmen Jokowi dalam memutuskan UU tertentu. Ini yang sebenarnya menjadi pertimbangan Jokowi, bagaimana langkah ke depan untuk mencari solusi. Makanya bahasanya dipertimbangkan,” jelas Adi.
Adi juga mengatakan, jika Jokowi ingin mencari jalan keluar yang tepat, Jokowi perlu mendengarkan pihak-pihak yang selama ini tidak setuju dengan revisi UU KPK.
Artinya, kata Adi, perlu kehati-hatian dari Jokowi untuk mengeluarkan Perppu atau tidak. Dari sisi politiknya, jika Jokowi mengeluarkan Perppu makan akan dianggap tidak tegas dan plinplan.
“Kuncinya apakah bisa meyakinkan atau tidak. Bukan konsekuensi hukum, tapi juga konsekuensi politik. Misalnya dianggap tidak tegas, plin plan, keputusan dibuat dengan tergesa gesa dan semacamnya,” jelas Adi.
Begitu pun juga jika Jokowi tak mengeluarkan Perppu, Jokowi dianggap tak mendengar aspirasi.
“Ini ibaratnya kayak buah simalakama, maju kena mundur kena,” jelas Adi.
“Karena kalau ngotot masing-masing (yang pro dan yang kontra revisi UU KPK) substansinya sama-sama kuat, yang nolak kuat, yang setuju kuat. Perlu kehati-hatian Jokowi memilih yang paling mantap ke depan,” imbuhnya.
Editor: PAR
Sumber: kumparan