Jakarta – Pemerintah didesak untuk buka-bukaan soal rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen pada 2020 nanti. Sebab, kenaikan cukai mendorong Harga Jual Eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, rencana kenaikan cukai tanpa kejelasan membuat masyarakat dan industri hasil tembakau ketar-ketir. Selama ini, pemerintah mengatakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi perokok, dan membasmi rokok ilegal.

Namun, kenaikan cukai yang cukup tinggi justru menimbulkan motif bahwa pemerintah sedang dikejar setoran penerimaan negara.

Indikasi ini terlihat dari angka kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen di tahun depan yang ternyata lebih besar dibanding rata-rata kenaikan cukai rokok dalam 10 tahun terakhir yakni 13 persen.

Apalagi sejauh ini, pemerintah tak pernah terbuka ihwal formulasi kenaikan tarif cukai tersebut.

“Jadi, sebagai masyarakat sipil pun kami bertanya, apa dasar dan tujuan dari kenaikan cukai sebesar angka tersebut? Karena, selama ini rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait hal tersebut tak pernah terbuka,” jelas Roy, Rabu (25/9).

Hingga saat ini, lanjutnya, terdapat beberapa hal yang dianggap abu-abu terkait rencana kenaikan cukai rokok. Pertama, masih belum diketahui apakah kenaikan cukai rokok tersebut merata di semua jenis dan golongan rokok atau kenaikan cukainya bersifat progresif.

Menurut PMK Nomor 156 Tahun 2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, cukai dibebankan terhadap tiga jenis rokok, yakni Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).

Masing-masing jenis rokok memiliki golongan cukainya masing-masing. “Ini menjadi tanda tanya yang besar,” papar dia.

Kedua, pemerintah juga tidak menjelaskan pengenaan cukai rokok di tahun depan berdasar pada strata tarif cukai hasil rokok seperti yang direncanakan pada PMK Nomor 146 Tahun 2017 atau tidak.

Roy menjelaskan dua tahun lalu pemerintah berencana untuk melakukan simplifikasi atas strata (layer) tarif cukai rokok dari 10 strata tarif di 2018 menjadi delapan strata tarif di 2019, enam strata tarif di 2020, dan lima strata tarif di 2021.

Hanya saja, kebijakan simplifikasi ini hanya berlangsung selama setahun, karena pemerintah tiba-tiba menghapus simplifikasi strata tarif cukai tersebut melalui PMK Nomor 156 Tahun 2018.

Padahal, simplifikasi struktur cukai tarif akan lebih efektif dalam mengerek penerimaan cukai ketimbang menaikkan tarifnya secara drastis. Menurut hitung-hitungan yang dilakukan lembaganya, penerimaan cukai di tahun ini seharusnya bisa lebih banyak Rp6,25 triliun jika pemerintah tetap mengubah strata tarif cukainya menjadi delapan strata sesuai PMK 146 Tahun 2017.

“Kebijakan pemerintah ini terbilang inkonsisten, tidak ada skema yang klir mengenai formulasi dan pengenaan cukai rokok. Hal-hal seperti ini yang seharusnya dibuat lebih transparan, jadi masyarakat dan industri bisa lebih mengantisipasi kebijakan cukai di masa-masa yang akan datang.” papar dia.

Senada, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan pemerintah perlu mengungkap dasar pengenaan tarif tersebut agar sesuai dengan konstitusi yang berlaku.

Dalam hal ini, ia mengacu pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Admnistrasi pemerintahan bahwa setiap keputusan pemerintah harus diberi alasan yuridis, sosiologis, dan filosofis.

“Dan aspek sosiologis ini termasuk bagaimana menghitung cukai yang seharusnya. Pengambilan kebijakan yang baik tentu akan berbasis pada perhitungan empiris, namun sampai saat ini pemerintah tidak membuka apa basis empiris dari kenaikan tersebut,” terang dia.

Sebelumnya, pemerintah berencana untuk mengerek tarif cukai rata-rata sebesar 23 persen, sehingga HJE rokok secara rerata juga naik menjadi 35 persen. Hal ini diharapkan bisa membuat penerimaan cukai tembakau tahun depan sebesar Rp180,5 triliun.

Penerimaan tersebut rencananya menyumbang 80,9 persen dari target penerimaan bea dan cukai di dalam APBN 2020 yakni Rp223,1 triliun.

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia