Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat memfinalisasi Rancangan Undang-undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9) hari ini.

Menanggapi hal itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai beberapa kebijakan dalam RUU SBPB memberatkan petani kecil dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Putusan MK. Bahkan ada aturan yang berpotensi mengkriminalisasi petani.

RUU SBPB menyebutkan bahwa petani kecil harus melapor kepada pemerintah dalam setiap kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik.

“Ketentuan tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012, yang memperbolehkan dan memberi kebebasan kepada petani untuk mencari dan mengumpulkan plasma nutfah dan/atau benih,” ujar Ketua Umum SPI Henry Saragih dalam keterangan tertulis, Selasa (24/9).

Menurut Henry, pemerintah justru bertanggung jawab dan seharusnya berperan proaktif dalam melakukan kegiatan pendataan.

RUU SBPB bahkan memiliki ketentuan mengenai sanksi administratif yang menjurus pada kriminalisasi petani.

Secara rinci disebutkan, kriminalisasi itu terkait dengan kegiatan perorangan dalam pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik tanpa izin. Lagi-lagi hal ini bertentangan dengan Putusan MK terhadap UU Sistem Budidaya Tanaman.

Dalam draf RUU SBPB, DPR dan pemerintah sepakat mengatur batas edar varietas hasil pemuliaan petani, yakni terbatas pada 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota.

Menurut SPI, ketentuan tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012. Dalam putusan disebutkan, petani kecil memiliki kebebasan dan diperbolehkan mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya.

“Komunitas, sebagaimana yang dimaksud MK adalah sesama petani, yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia,” ungkap Henry.

Kemudian, RUU SBPB juga mengatur ketentuan mengenai pengedaran produk hasil rekayasa genetika. SPI menilai hal ini tidak cukup, mengingat produk rekayasa genetika memiliki dampak bagi hajat hidup orang banyak dan keselamatan alam.

(lav)

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia