Jakarta – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) belakangan jadi perbincangan. Salah satu yang paling disoroti adalah terkait larangan terhadap praktik aborsi. Sejumlah pasal itu rencananya akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 24 September mendatang.

Aborsi dinyatakan sebagai tindak pidana dalam pasal 251, 470, 471, dan 471. Semua pihak yang terkait dengan praktik aborsi, baik perempuan yang menggugurkan kandungan, pihak lain yang menyuruh, hingga dokter, akan dikenakan sanksi hukuman penjara dengan berbagai ketentuan lebih rincinya.

Beleid ini menuai kontra. Pasalnya, ada pengecualian hukum yang justru berlaku bagi dokter yang melakukan aborsi (pasal 472 ayat 3), tapi tidak bagi perempuan.

“RKHUP mestinya memuat jaminan tidak ada pemidanaan bagi aborsi yang dilakukan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, seperti dikutip dari laman resmi ICJR.

Faktanya, beberapa kondisi medis mengharuskan seorang perempuan menggugurkan kandungannya.

“Jelas ada kondisi-kondisi tertentu yang diperbolehkan aborsi karena mengancam nyawa,” ujar Frizal saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (4/9). Salah satu yang menjadi catatan, lanjut dia, adalah gangguan jantung pada ibu hamil.

Gangguan jantung menimbulkan risiko pada ibu hamil. Mengutip situs kesehatan Mayo Clinic, kehamilan akan menekan jantung dan sistem peredaran darah. Selama kehamilan, volume darah akan meningkat sebesar 30-50 persen untuk memberi makan janin yang sedang tumbuh. Hal itu membuat jantung memompa lebih banyak darah.

Hal yang sama juga terjadi pada proses persalinan. Seorang ibu akan mengalami perubahan dalam aliran dan tekanan darah dalam proses persalinan.

Risiko tergantung pada sifat dan tingkat keparahan kondisi jantung ibu hamil. Dalam tingkat yang lebih tinggi, gangguan jantung pada ibu hamil bisa menyebabkan kematian akibat serangan jantung.

Journal of the American College of Cardiology menyebut, insiden gangguan jantung pada ibu hamil kian meningkat. Meski sebagian besar kondisi jantung dapat ditoleransi, namun beberapa lainnya memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Ibu hamil disarankan untuk terlebih dahulu mengkonsultasikan kondisi jantung pada dokter.

Selain penyakit jantung, Afrizal juga menyoroti kondisi kejang atau eklampsia yang dialami ibu hamil. Kejang, sebutnya, dapat berdampak pada pecahnya pembuluh darah hingga menyebabkan pendarahan pada otak. “Sehingga kehamilannya ini harus segera dihentikan,” kata dia.

Meski jarang terjadi, namun seorang ibu hamil dapat mengalami eklampsia meski tak memiliki riwayat kejang.

Eklampsia sendiri merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia. Mengutip situs kesehatan Healthline, preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan akibat tekanan darah tinggi. Eklampsia menyerang sekitar 1 dari setiap 200 perempuan dengan preeklampsia.

Kondisi ini umum terjadi pada ibu hamil dengan tekanan darah tinggi. Sekitar 10 persen ibu hamil di dunia disebut mengalami hipertensi atau tekanan darah tinggi.

Selain itu, aborsi juga bisa dilakukan berdasarkan kondisi kelainan atau cacat berat pada janin. Namun, Frizal menegaskan, tak semua cacat pada janin mengharuskan adanya tindakan aborsi.

“Aborsi hanya berlaku jika janin mengalami cacat berat. Paling parah, bayi tak memiliki kepala. Jika dilahirkan pun, bayi tak akan bisa hidup. Kalau cacat bagian jari, itu tak perlu aborsi,” jelas Frizal.

Tak sembarang dilakukan

Aborsi tak bisa sembarang dilakukan. Selain berdasarkan kondisi-kondisi medis tertentu, praktik aborsi juga harus dilakukan dengan cara yang tepat.

Penggunaan obat-obatan untuk melakukan aborsi adalah hal yang sangat tidak diperbolehkan. Frizal mengatakan, aborsi hanya bisa dilakukan dalam prosedur operasi oleh orang yang berkompeten seperti dokter spesialis kandungan.

“Tidak boleh bidan atau dokter umum yang tidak kompeten melakukan aborsi,” tegas Frizal.

Aborsi juga sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas kamar operasi dan peralatan medis yang mumpuni. Hal ini diperlukan untuk menghindari risiko aborsi yang berakibat fatal.

(asr)

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia