Jakarta – Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan segera disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 24 September mendatang usai dibahas pada Minggu (15/9).

Salah satu pasal yang dibahas adalah tentang pengguguran kandungan atau aborsi yang tercantum di Pasal 251, 470, 471, dan 472.

Pasal 251 mengatur tentang ancaman pidana empat tahun penjara bagi orang yang memberi obat atau meminta perempuan menggunakan obat untuk menggugurkan kandungan.

“Jika orang yang dimaksud melakukan perbuatannya dalam menjalankan profesinya dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak,” seperti dikutip bunyi Pasal 251 dalam RKUHP, Selasa (17/9).

Sementara dalam Pasal 470 mengatur ancaman pidana empat tahun penjara bagi setiap perempuan yang menggugurkan atau meminta orang lain menggugurkan kandungan.

Jika pengguguran kandungan itu dilakukan tanpa persetujuan si perempuan maka dapat dipidana paling lama 12 tahun.

“Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya perempuan tersebut dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun,” katanya.

Ketentuan ini serupa dengan Pasal 471 yang mengatur pidana penjara bagi setiap orang yang menggugurkan kandungan atas persetujuan perempuan tersebut. Hanya saja pengguguran kandungan yang dilakukan atas persetujuan si perempuan itu terancam pidana lima tahun penjara.

Jika pengguguran kandungan mengakibatkan perempuan tersebut meninggal maka dikenai pidana delapan tahun penjara.

Kemudian pada Pasal 472 menjelaskan ancaman hukuman pidana tambahan dan pencabutan hak bagi dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu pengguguran kandungan. Hukuman itu dapat ditambah 1/3 dari pidana utama yang dijatuhkan.

“Sementara dokter yang menggugurkan kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan dengan ketentuan UU, tidak dipidana,” jelasnya.

Sejumlah ketentuan tentang pengguguran kandungan ini dinilai diskriminatif terhadap korban perkosaan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan, akibat ketentuan dalam RKUHP, setiap perempuan yang menggugurkan kandungan karena diperkosa kini terancam pidana penjara.

Sementara pengecualian hukuman justru berlaku bagi dokter yang menggugurkan kandungan.

“RKUHP mestinya memuat jaminan tidak ada pemidanaan bagi aborsi yang dilakukan atas indikasi medis dan untuk korban perkosaan. Apabila pengecualian ini tidak dimasukkan ke RKUHP, hal ini bisa mengancam korban perkosaan,” ujar Anggara seperti dikutip dari laman ICJR.

Di sisi lain, ketentuan dalam RKUHP juga bertentangan dengan UU Kesehatan. Anggara menuturkan, dalam UU Kesehatan telah mengatur pengecualian hukuman bagi perempuan korban perkosaan yang menggugurkan kandungan.

“UU Kesehatan saat ini adalah momentum kunci pengaturan aborsi di Indonesia bahwa aspek kesehatan merupakan pertimbangan pertama terkait praktik aborsi,” jelasnya.

Dalam UU Kesehatan juga telah menjabarkan secara rinci aturan menggugurkan kandungan yakni sebelum kehamilan berumur enam minggu.

Meski pada bagian ini, kata Anggara, juga masih menjadi kritik karena usia kehamilan itu dinilai terlalu dini. Sebab, korban perkosaan selama ini cenderung takut melapor hingga tak menyadari usia kehamilannya telah melebihi batas.

“Jika aturan tentang aborsi ini dimasukkan ke RKUHP, maka perumus RKUHP harus menjawab permasalahan ini,” tuturnya.

Sebelumnya, beberapa pihak mengkritik pemerintah yang memiliki mental penjajah karena berusaha membangkitkan pasal-pasal antidemokrasi dalam RKUHP.

Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Selain pasal penghinaan presiden, sejumlah kelompok sipil juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, pasal itu hanya akan jadi bentuk antidemokrasi pemerintah.

Editor: PAR
Sumber: CNN Indonesia