Jakarta – Rokok menjadi sumber utama polemik antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan PB Djarum. Saat ini PB Djarum menghentikan audisi pencarian bibit unggul atlet bulutangkis.

Menghadapi rokok masih menjadi dilema bagi Indonesia. Rokok punya untung besar yang bisa digunakan di banyak bidang pembinaan. Namun, ada rugi yang harus siap ditanggung dengan gencarnya iklan dan peredaran rokok.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengingatkan besarnya peningkatan perokok remaja sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Ada 9,1 persen perokok remaja pada Riskesdas 2018, yang naik dibanding pada Riskesdas 2013 sebesar 7,2 persen.

“Harusnya diturunkan 5 persen, sekarang naik 9,1 persen. Anak-anak ini harus kita lindungi,” kata Menkes Nila.

Terkait polemik KPAI Vs PB Djarum, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki standing point sendiri. Kemenkes memilih fokus pada perlindungan anak-anak menghadapi bahaya dan efek rokok.

“Kami menjaga, melindungi, jangan sampai anak-anak mendapat penyakit ntar repot lagi. Kita membatasi jangan sampai anak-anak merokok dan membahayakan kesehatannya. Kita memberikan perlindungan,” kata Menkes Nila.

Menurut Nila, anak-anak seharusnya dilindungi dengan memberikan informasi yang benar terkait rokok. Menurut Menkes Nila, anak cepat sekali terpengaruh pada hal-hal yang dinilai menarik. Jika anak sampai mencoba rokok maka dia berisiko mengalami berbagai penyakit seiring masa dan jumlah konsumsi.

Kemenkes sendiri tidak mempermasalahkan audisi yang digelar produsen rokok besar. Yang jadi masalah adalah penggunaan logo dan merk rokok dari produsen tersebut.

“Standing point sudah jelas, bagi kami yang harus dilindungi adalah anak-anak dari aspek informasi soal rokok dan paparan yang tidak benar. Kami nggak ada masalah dengan audisinya,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Perlindungan Penyakit (P2P) Kemenkes Anung Sugihantono.

Menurut Anung penggunaan kata Djarum sudah merujuk pada produk tertentu, tanpa penjelasan lebih lanjut. Aturan terkait promosi dan iklan rokok telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomer 109 tahun 2012. Status sebagai sumbangan masyarakat tentu tetap harus mengindahkan aturan tersebut.

“Dengan aturan ini seharusnya tak perlu gaduh. Kami jelas ingin melindungi anak-anak dari paparan informasi dan atau perilaku yang merugikan kesehatan,” kata Anung.

Rokok sendiri bukan satu-satunya yang memancing polemik dan dilema di bidang olahraga dan kesehatan. Produk junk food dan minuman beralkohol misalnya, masih kerap menjadi sponsor berbagai kegiatan. Padahal konsumsi junk food dan minuman beralkohol jelas merugikan kesehatan.

Berbeda dengan rokok, hingga kini belum regulasi yang mengatur junk food dan minuman beralkohol. Promosi rokok sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012.

“Yang sudah jelas adalah susu formula, produk itu jelas tidak boleh menjadi sponsor acara kesehatan yang melibatkan ibu hamil. Selain itu, belum ada regulasi yang tegas mengatur,” kata Anung.

Menurut Anung, tak ada regulasi seharusnya tidak jadi masalah. Karena secara norma, penyelenggara acara bisa dengan bijak memilih pihak yang pantas menjadi sponsor. Apalagi jika acara yang hendak dilaksanakan bertema kesehatan.

Artinya, produk yang justru berisiko bagi kesehatan bisa ditolak menjadi sponsor. Contohnya junk food, minuman beralkohol, serta produk lain yang beredar di masyarakat.

 

(up/up)

 

 

 

 

Editor: PAR
Sumber:  detikhealth