Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan agar parlemen tetap berada di Jakarta meski pemerintah akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur. Menanggapi hal itu, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira engaku heran dengan saran Fadli tersebut. Menurutnya, ide politikus Gerindra itu justru membuat pengeluaran negara bertambah jika direalisasikan.
“Nanti ada biaya menteri dan staf-stafnya harus pakai pesawat bolak-balik. Ada juga biaya waktu, itu juga biaya, kan?” ujar Andreas kepada kumparan, Rabu (11/9).
“Kalau 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun, dan 100 tahun ke depan, mungkin biaya yang dikeluarkan akan lebih besar ketimbang memindah legislator ke Kaltim,” sambungnya.
Andreas juga menanggapi kritik Fadli yang merasa tak yakin ibu kota bisa dipindahkan sepenuhnya tahun 2024 mendatang. Menurutnya, kritik Fadli justru membuat pemerintah lebih semangat memindahkan ibu kota.
“Kalau soal pesimistis, sah-sah saja. Serahkan pada ahlinya. Kita anggap sikap Pak Fadli sebagai pemicu agar pemerintah kerja lebih serius untuk pemindahan ibu kota,” kata Andreas.
Sementara itu, politikus PDIP Eva Sundari menilai tidak ada parlemen yang tidak berada di pusat pemerintahan. Ia juga meminta Fadli menghormati presiden sebagai kepala negara yang memutuskan pemindahan tersebut.
 
“Ini sistem presidensiil, jadi mari berakal sehat. Jangan bikin anomali-anomali karena preferensi pribadi. Karena demokrasi kita keterwakilan dan raker-raker komisi dengan menteri sudah bertempat di Ibu Kota,” ucap Eva.
Sehingga, menurutnya, tidak mungkin jika kantor lembaga legislatif berada di luar ibu kota. Kecuali, kata Eva, rapat dengan para menteri bisa diwakilkan oleh kepala dinas di Jakarta.
“Lihat UU 17 Nomor 2003, penyusunan RAPBN dengan empat siklus anggaran. Bisa enggak terlaksana mengikuti logika tiga pusat kekuasaan terpisah?” tanya Eva.
Fadli sebelumnya juga menyarankan agar Indonesia mencontoh Afrika Selatan yang memiliki tiga ibu kota, yang masing-masing ditempati oleh eksekutif (Cape Town), legislatif (Cape Town), dan yudikatif (Bloemfontein). Menurut Eva, ide ini tidak bisa diterapkan di Indonesia karena berbeda azas politiknya.
 
“Afrika Selatan kan mengikuti logika trias politika. Di Indonesia kan kekeluargaan, sehingga membuat UU saja bareng-bareng antara eksekutif dan legislatif. Jangan memaksakan konsep dan lupa akar argumen,” pungkasnya.
Editor: PAR
Sumber: kumparan