Ilustrasi anak buah kapal (ABK) Foto: moodboard/Thinkstock
POJOK BATAM.ID –  Selama sembilan tahun Riswanto Hadiyasa, warga Bantul, Yogyakarta harus memendam rasa rindu terhadap anak sulungnya AgielRamadhan Putra. Agiel hilang sejak 9 tahun lalu saat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pelabuhan Benoa, Bali.
Agiel dan dua orang lainnya, Ginanjar Nugraha Atmaji dan AndrintaDenny Murdani, hilang saat menjadi Anak Buah Kapal (ABK) KM Jimmy Wijaya, di Pelabuhan Benoa, Bali. Mereka merupakan siswa SMK Negeri 1 Sanden, Bantul, jurusan perikanan.
Data Siswa SMK yang dipaksa jadi ABK di Bali. Foto: Dok. Istimewa
Riswanto menceritakan, awal kasus bermula pada 31 Desember 2009 lalu, ketika anaknya dan para siswa di SMKN 1 Sanden akan berangkat untuk PKL di Bali.
“Tahun 2010 anak saya yang anak pertama laki-laki sekolah di SMKKelautan Sanden Bantul Yogyakarta. Jursan perikanan, waktu itu usia16 tahun kelas 2 ceritanya dari sekolah ada program PKL, saya ikut sosialiasi di Sekolah,” cerita Riswanto saat dihubungi kumparan, Selasa (3/9).
“PKL ditujukan untuk Pelabuhan Benoa, Bali. Padahal, kalau resminya kan di Pekalongan tapi kami percaya ke sekolah, 54 siswa diberangkatkan ke Pelabuhan Benoa, Bali. Itu akhir Desember 2009, tanggal 31,” lanjut Riswanto.
Riswanto masih ingat, ketika itu pihak sekolah meminta uang Rp 2.250.000 untuk keperluan akomodasi dan keberangkatan para siswa ke Bali.
“Begitu sampai di sana semalem, paginya sudah langsung disalurkan ke kapal,” kata Riswanto.
Dua bulan berselang, Riswanto mendapatkan kabar dari perusahaan tempat anaknya magang di Bali, yakni dari PT Sentra Buana Utama. Ia diberi tahu perusahaan tersebut, bahwa anaknya dan dua teman-temannya hilang kontak sejak 6 Februari 2010.
“Februari tanggal 6, saya mendapat surat dari PT Sentra Buana Utama, di situ ditujukan kepada saya Riswanto Hadiyasa, selaku orang tua Agil Ramadhan Putra, memberitahukan kapal yang bernama KM Jimmy Wijaya di mana Agil bekerja lost contact per 6 Februari 2010 pukul 04.00,” jelas Riswanto.
Surat pemberitahuan PT Sentral Benoa Utama soal siwa SMK yang hilang di Bali. Foto: Dok. Istimewa
Sontak seketika, perasaan Riswanto tak karuan. Dia syok mendengar anaknya hilang di Bali. Namun, yang lebih mengherankan bagi Riswanto, di surat tersebut Agiel bekerja dan merupakan karyawan PT Sentra Buana Utama. Padahal, anaknya sedang magang atau Praktik Kerja Lapangan (PKL) dari SMKN 1 Sanden, Bantul.
“Yang jadi masalah kok anak saya PKL tapi disebutkan bekerja,” cerita Riswanto.
Riswanto menceritakan, pada saat itu ada pihak dari perusahaan menyebut pihak perusahaan tidak tahu anaknya merupakan siswa SMK. Sebab, pihak perusahaan hanya mengetahui Agiel dan rekan-rekannya sebagai pencari kerja.
“Kepala operasionalnya bilang tidak tahu anak saya siswa, saya terima dari calo ke calo, sebagai tenaga kerja, anak bapak KTP ada usianya 18 tahun,” jelasnya.
Kemudian, Riswanto menelusuri sendiri ke pihak sekolah. Kemudian didapat, calo yang menyalurkan anaknya ke Bali bernama Mugiri, yang diakui sebagai guru pembimbing di SMKN 1 Sanden.
“Saya cari sendiri saya lacak sendiri ternyata baru terungkap itu calo tenaga kerja, nah setelah mendapatkan bukti saya langsung ke Bali, temui perusahaannya,” jelas Riswanto.
Saat di Bali, Riswanto mencari informasi terkait keberadaan anaknya. Menurut informasi yang ia terima, saat di Bali anaknya justru dibuatkan KTP sebagai syarat untuk bekerja di kapal.
“Di Bali saya temukan bukti KTP palsu, intinya ada yang diwajibkan bikin KTP. Karena alasannya KTP untuk persyaratan, padahal anak saya usia 16 tahun ada KTP yang domisili Bali yang penting ada KTP,” ungkapnya.
“Dipaksa untuk membuat KTP, orang tua enggak tahu kalau dijadikantenaga kerja, saya mendapatkan bukti kontrak kerja anak saya dengan perusahaan,” lanjutnya.
Surat perjanjian magang Siswa SMK Sanden Bantul. Foto: Dok. Istimewa
Riswanto pun kemudian membawa kasus ini pun ke ranah hukum. Namun, kekecewaan kembali didapatkan oleh Riswanto. Kepala Sekolah dan guru pembimbing diproses hukum, tapi majelis hakim justru membebaskannya.
“Tersangkanya Kepala Sekolah dan guru pembimbing divonis bebas, saya telusuri ternyata menyuap hakim masing masing Rp 30 juta, saya dapatkan sumber itu dari salah satu guru yang saya percaya, yang bantu kami,” jelas Riswanto.
“Logikanya harus divonis bersalah karena buktinya ada, setelah itu berangkat,” jelasnya.
Perjuangan Riswanto mencari keadilan pun tak surut begitu saja. Ia lalu pergi ke Jakarta, menemui langsung Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Saya minta waktu itu ke SBY minta perhatian, dibuatkanlah surat tembusan ke Polda Bali dan segala macam. Tapi tidak sampai bawah eksekusinya. Akhirnya sia-sia juga,” jelasnya.
Enam bulan kemudian, ada pihak perusahaan menghubungi Riswantountuk menawari asuransi bagi anaknya dan dua rekannya. Tapi tawaran asuransi itu ia tolak, namun bagi kedua orang tua yang lain diterima dengan alasan kebutuhan ekonomi dan sudah lelah.
“Saya tolak tawaran asuransi Rp 25 juta per anak, tapi orang tua yang lain menerima, karena memang mereka juga sudah capek dan lelah, saya juga lelah. Tapi saya menolak asuransi, dan apakah dengan menerima asuransi ini kejelasan anak saya beres-beres begitu saja?” kata Riswanto.
Sembilan tahun Riswanto mengalami kepedihan tanpa kejelasan nasib anaknya. Saat pemerintahan beralih ke Presiden Jokowi, Riswantosempat pergi lagi ke Jakarta menemui Sekretariat Kabinet.
“Begitu Jokowi dilantik 3 bulan, waktu itu kenalkan dengan timses Jokowi mereferensi saya ketemu Seskab, saya datang ke Seskab, 5 jam saya tunggu di ruang menteri tapi menterinya enggak datang. Berkas saya diterima tapi enggak ketemu menteri , enggak ada kabar beritanya sampai 9 tahun,” ungkapnya.
Hingga massa pemerintahan periode pertama Jokowi berakhir, belum ada kabar dan kejelasan mengenai nasib anaknya. Beberapa lembaga kementerian sudah ia datangi untuk mencari kejelasan dan keadilan bagi anaknya. Namun belum juga mendapat kabar menggembirakan.
Bahkan Riswanto mengaku, pada saat Pilpres 2019 lalu, ada pihak timses Jokowi kembali lagi menemui Riswanto. Menurutnya, timses tersebut menyuruh Riswanto membuat kembali permohonan terkait anaknya.
Kemudian, beberapa bulan lalu Riswanto bertemu dengan seseorang yang berasal dari Papua memberi nomor kontak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
“Beberapa waktu lalu, ada tamu datang ke saya. Orang Papua, dia menunjukkan foto bersama Jokowi. Saya lantas percaya saya, karena jarang-jarang ada orang yang bisa berfoto dengan Jokowi,” jelas Riswanto.
“Kemudian orang Papua itu memberikan nomor kontak Ibu Susi, yang ada Whatsappnya. Saya Whatsapp Bu Susi, saya kirim semua dokumen yang terkait anak saya lewat Whatsapp. Tapi sampai saat ini belum ada respons. Whatsappnya sampai tapi tidak ada respons,” jelasnya.
Editor: HEY
Sumber: Kumparan