Tim KPK saat bertemu dengan Walikota Batam, Rudi beberapa waktu lalu. (Foto: ist)

JAKARTA, POJOK BATAM.ID – Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mendorong penyelesaian konflik terkait kepemilikan dan pengelolaan aset di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Upaya pencegahan itu dilakukan KPK melalui kegiatan monitoring dan evaluasi berkala mulai Senin hingga Jumat 22-26 Juli 2019.

Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah mengatakan, rekomendasi tersebut merupakan salah satu kesimpulan yang KPK keluarkan setelah menyelesaikan evaluasi semester pertama 2019 terhadap 4 provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan kepulauan Riau (Kepri).

Salah satu persoalan yang menonjol di Kepri sehingga menjadi fokus pada monev kali ini adalah penyelesaian konflik kepemilikan aset yang melibatkan sejumlah pemda, yaitu Pemprov Kepri, Pemko Batam, Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun dengan BP Batam dan BUMN.

“Beberapa konflik kepemilikan aset antara pemerintah daerah terjadi diantaranya karena proses pemekaran dan proses hibah yang tidak tuntas serta keterbatasan bukti administratif kepemilikan,” katanya.

Febri Diansyah melanjutkan, permasalahan di tiga kabupaten kota di Kepri itu terkait dengan aset limpahan dari pemda induk yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan administrasi akibat proses hibah yang tidak cermat ataupun efek dari tingginya nilai aset yang diperebutkan.

“Kondisi yang sama juga terjadi antara Pemko Tanjung Pinang dengan Pemkab Bintan sebagai efek dari pemekaran wilayah,” sebutnya.

Tidak hanya antar pemda, katanya, konflik terkait penguasaan aset juga terjadi antara pemda dengan perorangan, yayasan maupun perusahaan terkait tanah dan properti lainnya yang bernilai strategis.

“Di Pemkot Tanjung Pinang, sebagai contoh terdapat tanah hibah dari instansi vertikal dan pemda induk yang dikuasai masyarakat karena ketidakcekatan pemkot dalam mengurus administrasi hibah,” bebernya.

Ia menuturkan, Pengelolaan aset atau Barang Milik Daerah (BMD) merupakan salah satu fokus perbaikan sistem yang didorong KPK. Aset-aset daerah, baik bergerak maupun tidak bergerak dalam pengelolaannya masih banyak masalah.

“Seperti belum adanya legalitas kepemilikan (sertifikat), masih terdapat aset yang dikuasai oleh pihak ketiga yang tidak berhak, terjadi konflik kepemilikan aset dengan pihak ketiga (pemerintah, swasta atau perorangan) dan tidak optimalnya pemanfaatan BMD oleh pemerintah daerah, ” ujarnya.

Menurut Febri Diansyah, pada evaluasi semester pertama ini Kepri bersama Sumsel merupakan yang terendah terkait legalitas kepemilikan aset. Rata-rata tanah bersertifikat di Prov Kepri baru sekitar 20 persen yaitu sebanyak 1.087 bidang tanah dari 5.205 total bidang tanah.

“Progress selama 6 bulan terakhir juga dinilai lambat, pada Januari 2019 tercatat 1.066 bidang tanah yang telah tersertifikat. Tapi kurun waktu 6 bulan hanya bertambah 21 aset tanah yang tersertifikasi,” katanya

Editor: HEY
Sumber: batamnews