POJOK BATAM.ID – Mahkamah Agung (MA) telah menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) kasus Baiq Nuril. Sehingga Baiq Nuril dihukum enam bulan penjara, dan denda Rp 500 juta. MA menyatakan Baiq Nuril bersalah karena melakukan perekaman ilegal.

Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro memahami reaksi masyarakat karena langkah hukum peninjauan kembali (PK) terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril‎ ditolak MA.

“MA dalam mengadili perkara di tingkat kasasi pada prinsipnya berkedudukan sebagai judex juris, artinya MA tidak lagi menaati fakta seperti halnya di PN dan Pengadilan Tinggi. Jadi MA dalam perkara kasasi tak boleh,” kata Andi di Kantor MA, Jakarta, Senin (8/7).

Dalam tingkat kasasi MA hanya menilai bagaimana persoalan penerapan hukum dari perkara Baiq Nuril tersebut. Hal itu untuk mengetahui apakah jalannya persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sudah benar dengan tidak melampaui kewenangan.

Andi menjelaskan, perkara Baiq Nuril yang diputus bebas pada pengadilan tingkat pertama tersebut adanya alasan kesalahan dalam penerapan hukum.

“Karena perbuatan Baiq Nuril kendati bukan secara langsung mendistribusikan dokumen elektronik sehingga tersebar. Tetapi menyadari bahwa di dalam HP itu ada rekaman pembicaraan antara pelapor dengan terdakwa,” ujarnya.

“Perbuatan yang dilakukan terdakwa menurut kasasi memenuhi unsur-unsur pidana yang diatur UU ITE. Sehingga perbuatan itu dianggap bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana,” jelas Andi.

Senada dengan Andi, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah menjelaskan, perkara yang diajukan oleh JPU dalam perkara PK atas nama Terdakwa Baiq Nuril, adalah berupa dakwaan tunggal, sebagaimana Pasal 27 ayat l juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 (ayat 1).

Sedangkan terhadap tindak pidana yang lain atau terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak lain terhadap Baiq Nuril adalah perkara tersendiri dan harus diproses tersendiri pula, yang dimulai dari penyidikan oleh kepolisian. Kemudian penuntutan oleh Kejaksaan dan terakhir dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.

“Menurut peraturan Perundang-Undangan, bahwa Kewenangan Mahkamah Agung atau Hakim mengadili perkara berdasarkan pasal dan undang-undang yang didakwakan saja. Sedangkan hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak boleh diadili oleh hakim,” ucap Abdullah.

Terkait dengan berita yang viral di media massa dan menjadi perhatian masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril oleh seseorang, yang bersangkutan sendiri telah melaporkan hal tersebut ke Polda NTB sebagai korban. Selanjutnya perkara tersebut menjadi kewenangan penyidik (kepolisian) apakah perkara tersebut dilanjutkan atau tidak.

Terkait dengan putusan BK Nomor 83 / PK/ Pidsus / 2017 yang menyatakan menolak permohonan PK saudara Baiq Nuril, dengan alasan Permohonan PK yang diajukan tidak termasuk dalam alasan PK yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kasus itu sendiri bermula pada pertengahan 2012. Saat itu, Baiq yang berstatus guru honorer di SMAN 7 Mataram ditelepon oleh Kepala Sekolahnya yang bernama Muslim.

Dalam percakapan telepon itu, Muslim justru bercerita tentang pengalaman seksualnya bersama wanita lain yang bukan istrinya. Percakapan itu juga mengarah pada pelecehan seksual pada Baiq. Baiq pun merekam percakapan itu dan rekaman itu diserahkan pada rekannya, Imam, hingga kemudian beredar luas.

Atas beredarnya rekaman itu, Muslim kemudian melaporkan Baiq ke polisi karena dianggap telah membuat malu keluarganya.

Di Pengadilan Negeri Mataram, Baiq divonis bebas. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi dan Mahkamah Agung memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar UU ITE.

Sumber:JawaPos.com