POJOK BATAM.ID – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril‎. Hal ini pun menimbulkan polemik. MA dinilai tidak berpihak kepada korban pelecehan seksual. Sehingga dinilai ada yang salah dalam keputusan MA menolak PK Baiq Nuril.

Saat dikonfirmasi, ‎Ketua Komisi Yudisial (KY), Jaja Ahmad Jayus‎ mengatakan apapun yang diputuskan oleh MA harus dihargai. Sehingga dirinya tidak bisa mengomentari produk hukum yang sudah diputuskan.

“Tentunya bagi suatu produk putusan apakah itu benar atau tidak, tepat atau tidak tepat itu harus dihargai sebagai proses yang harus dilalui oleh setiap warga negara,” ujar Jaja kepada JawaPos.com, Sabtu (6/7).

Jaja menambahkan, asalkan putusan hakim tidak karena adanya unsur tekanan ataupun intervensi dari pihak luar. Maka putusan itu memang wajib dipatuhi. Karena hakim memiliki pertimbangan sendiri dalam menolak Peninjauan Kembali terhadap Baiq Nuril.

“Bisa saja putusan itu menimbulkan pro dan kontra. Tapi selama tidak ada unsur yang memengaruhi hakim. Misalnya tekanan atau sifatnya non fisik. Nah itu putusan tetap sah. Karena itu sudah ada dalam sistem hukum di Indonesia,” ungkapnya.

Setelah adanya putusan dari MA tersebut. Maka saat ini Kejaksaan Agung tinggal melakukan eksekusi saja terhadap Baiq Nuril. Namun, saat ini langkah hukum Baiq Nuril adalah mengajukan amnesti ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya mengakui kesalahan yang diperbuatnya.

“Artinya kalau meminta pengampunan artinya mengakui atas perbuatannya. Jadi itu kenapa Baiq Nuril mengajukan PK karena menganggap tidak bersalah,” pungkasnya.

Sekadar informasi, MA menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril. Alhasil, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

“Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan PK Pemohon Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019,” demikian bunyi putusan MA, Jumat (5/7). Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menyampaikan, dengan ditolaknya permohonan PK maka putusan kasasi MA yang menghukum Baiq Nuril dinyatakan tetap berlaku.

Sidang Peninjauan Kembali itu diketuai oleh hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai alasan permohonan PK pemohon yang mendalilkan bahwa dalam putusan tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tidak dapat dibenarkan.

Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat perbuatan Baiq Nuril merekam pembicaraan melalui handphone antara korban dan terdakwa ketika korban meneleponnya sekitar satu tahun lalu dan menyimpan hasil rekamannya dan diserahkan kepada saksi Imam Mudawin mengandung unsur pidana. Terlebih setelah saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga rekaman percakapan itu tersebar luas.

“Bahwa terdakwa yang menyerahkan handphone miliknya kepada orang lain kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen eletronik yang berisi pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan tidak dapat dibenarkan. Atas alasan tersebut permohonan PK pemohon atau terdakwa ditolak,” jelas Andi.

Adapun MA melalui Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Dalam putusannya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pengadilan Negeri Mataram melalui Majelis Hakim yang dipimpin Albertus Husada pada 26 Juli 2017, dalam putusannya menyatakan bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim, mantan Kepala SMAN 7 Mataram yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sumber:JawaPos.com