Melihat Tradisi Sisingaan, Barongsai ala Hulu Sungai
LANGKA: Pertunjukan tradisi Sisingaan saat ini sudah jarang ditemui di acara-acara rakyat. | FOTO: LANGKA: Pertunjukan tradisi Sisingaan saat ini sudah jarang ditemui di acara-acara rakyat. (SYAPRANI FOR RADAR BANJARMASIN/Jawa Pos Group)

POJOK BATAM.ID – Tetabuhan musik tradisional Banjar mengiringi kedatangan arakan Sisingaan, ornamen seekor singa dengan taring menonjol di bagian mulut yang agak sedikit menonjol, dan berbadan besar memanjang ke belakang. Sisingaan yang didominasi warna coklat dan digerakkan oleh setidaknya enam orang di dalamnya ini, mengawal pengantin pria untuk bersanding dengan pengantin wanita yang sudah menunggu di pelaminan.

Tradisi Sisingaan sendiri biasanya digelar dalam memeriahkan pesta perkawinan di masyarakat Balangan, sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan (Kalsel). Itu ditampilkan saat pasangan pengantin mau bersanding atau lebih dikenal dengan istilah duduk batatai.

Sekilas, Sisingaan ini mirip dengan Barongsai, tradisi khas etnis Tionghoa, karena sama-sama memainkan ornamen binatang berupa naga atau singa yang diiringi musik. Namun, pemain Sisingaan tidak selincah pemain Barongsai, hanya sekadar berjalan tanpa atraksi.

Menurut salah satu pelaku seni Sisingaan di Balangan, Syaprani, 64, kesenian Sisingaan sendiri biasanya dimainkan sekitar 12 orang, yang terdiri dari enam orang pemain untuk memainkan Sisingaan.

“Tiap ekor singa dimainkan oleh tiga orang, yaitu bagian kepala, ekor. Sedangkan pemain yang di tengah bersifat sebagai pembantu dan biasa juga diiringi musik tradisional Banjar, bisa juga gamelan,” jelasnya, seperti dikutip dari Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), Kamis (4/7).

Dua pemain lagi, kata Syaprani, bertindak sebagai badut untuk menarik perhatian pengunjung atau masyarakat dengan menggunakan topeng serta kostum menyerupai seekor monyet atau hanoman. Sisa pemain lainnya sebagai penabuh gendang atau babun, pemukul gong, dan seorang lagi bertindak sebagai kepala rombongan atau pimpinan Kerangka Sisingaan ini.

“Pertunjukan tradisi Sisingaan ini sudah sangat jarang dimainkan di acara resepsi perkawinan, karena orang sekarang lebih memilih organ tunggal sebagai hiburan. Kalaupun ada yang memesan, biasanya dari Kecamatan Juai atau Lampihong,” ungkapnya.

Pemerhati sosial di Kabupaten Balangan, Sugianoor mengungkapkan, di tengah semakin langkanya pertunjukan tradisi Sisingaan ini, pemerintah daerah diharapkan memberikan ruang. Misalnya, meminta para seniman Sisingaan ini unjuk gigi dalam setiap acara yang dilangsungkan oleh pemerintah.

“Jenis tradisi ini sangat rawan punah kalau tidak dilestarikan. Bahkan saya pernah mencoba browsing di internet, pembahasan terkait tradisi ini hanya sekilas lalu, di Youtube juga tidak saya temukan. Ini harus jadi perhatian serius pemerintah daerah,” tandasnya.

Sementara itu, Kasi Sejarah dan Tradisi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Balangan, Fahriati mengakui, hingga saat ini pihaknya belum pernah melakukan pembinaan terhadap pelaku tradisi Sisingaan. Terkendala anggaran yang belum tersedia.

“Insya Allah tahun depan akan kami usulkan kembali anggaran untuk pembinaannya,” ujarnya.

Diungkapkan Fahriati, pihaknya sudah mengusulkan tradisi Sisingaan ini menjadi warisan budaya tak benda ke pemerintah provinsi, berbarengan dengan delapan tradisi lainnya. Namun, hanya empat yang diterima dan empat lainnya ditolak, termasuk Sisingaan.

Diakuinya, sumber terkait tradisi ini belum ada ditemukan, termasuk penulisan dan lain sebagainya. Sehingga menyusahkan pihaknya untuk meyakinkan bahwa tradisi ini layak untuk dilestarikan dan masuk warisan budaya tak benda.

“Namun ke depan, tradisi ini akan kami usulkan untuk dipertunjukkan saat ada acara pemerintahan,” ungkapnya.

Sumber:JawaPos.com