Dalil BPN Prabowo-Sandi soal Kecurangan TSM Ditolak MK
Aksi damai mengawal sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin Rabu (26/6). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

POJOK BATAM.ID–  Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sejumlah dalil permohonan gugatan tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diajukan dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2019. Salah satu dalil yang ditolak MK yakni perihal ajakan calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) kepada masyarakat untuk berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) mengenakan baju putih.

Tim hukum BPN Prabowo-Sandi, dalam sidang yang digelar Jumat (14/6) berargumen bahwa ajakan tersebut melanggar asas bebas-rahasia pemilu. Ajakan Jokowi dianggap dapat menimbulkan tekanan psikologis dan intimidatif terhadap pemilih yang tidak memilih paslon nomor urut 01.

Hakim konstitusi Arief Hidayat menilai, bahwa ajakan mengenakan baju putih ke TPS itu tidak relevan dengan dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Sebab, tidak ada kaitannya antara orang mengenakan baju putih ke TPS dan perolehan suara paslon.

“Terhadap dalil pemohon (Tim Hukum Prabowo) Mahkamah mempertimbangkan, selama persidangan Mahkamah tidak menemukan fakta adanya intimidasi ajakan baju putih,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan PHPU pilpres 2019 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

Mantan Ketua MK ini menyebut, dalam persidangan kubu Prabowo-Sandi tidak bisa membuktikan ada keterkaitan antara ajakan mengenakan baju putih yang diserukan Jokowi dan hasil perolehan suara paslon peserta pemilu. “Lebih-lebih pengaruhnya terhadap perolehan suara. Oleh karena itu, dalil pemohon tidak relevan dan harus dikesampingkan,” terang Arief.

Selain soal ajakan ke TPS mengenakan baju putih, MK menyatakan tidak menemukan adanya kecurangan secara TSM dalam pelatihan saksi yang digelar Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Ini merupakan penilaian hakim MK atas kesaksian Hairul Anas Suaidi yang mengikuti kegiatan Training of Trainer (ToT) atau pelatihan saksi yang digelar TKN Jokowi-Ma’ruf.

“TSM tidak terbukti dan dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap hakim konstitusi Wahiduddin Adam.

Dalam kesaksiannya, Anas menyampaikan salah satu materi pelatihan membahas tentang topik kecurangan dalam demokrasi. Namun, saat ditanya oleh hakim, Anas mengaku pada saat itu tidak ada pelatihan yang mengajari saksi untuk bertindak curang.

Sementara itu, termohon menghadirkan saksi Anas Nasikin yang merupakan staf Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR. Nasikin merupakan panitia pelatihan saksi yang digelar TKN Jokowi-Ma’ruf.

Hakim konstitusi menilai, Nasikin telah mengonfirmasi bahwa istilah kecurangan bagian dari demokrasi itu harus dipahami secara utuh. Istilah itu hanya untuk menarik minat peserta pelatihan dan memahami bahwa kecurangan bisa saja terjadi dalam pemilu.

“Anas Nasikin menerangkan slide itu untuk mengagetkan agar peserta serius memahami kecurangan sebagai suatu niscaya dalam pemilu. Tapi, karena peserta tidak dijadikan dalil oleh pemohon, maka tidak perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah,” ujar Wahiduddin.

Terkait dalil TSM, hakim konstitusi Aswanto menolak dalil permohonan paslon Prabowo-Sandiaga soal ketidaknetralan aparat TNI-Polri. Majelis hakim konstitusi menilai, pernyataan presiden meminta aparat penegak hukum untuk menyosialisasikan program pemerintah merupakan hal wajar.

“MK tak menemukan bukti yang didalilkan pemohon terkait ketidaknetralan TNI-Polri. Imbauan Presiden untuk menyosialisasikan program pemerintah adalah hal wajar dilakukan Presiden sebagai kepala negara,” ungkap hakim konstitusi Aswanto.

MK menyatakan, telah mengecek alat bukti yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandi. Menurut Aswanto, pihaknya tidak menemukan adanya ajakan dari Jokowi kepada TNI-Polri untuk mengampanyekan calon tertentu.

Selain itu, MK juga menolak dalil pemohon tim hukum Prabowo-Sandi terkait adanya dugaan aparat kepolisian membentuk tim buzzer serta mendata kekuatan calon presiden. Sebab, bukti dari dalil itu hanya berdasarkan pemberitaan di media daring dan media sosial.

“Bukti itu tak menunjukkan peristiwa itu terjadi,” tukas Aswanto.

Sumber:Jawapos.com