Ilustrasi memberi amplop saat pemilu
Amplop, kini punya kaitan dengan proses pemilu, padahal kertas suara untuk proses pemungutan suara tak pernah diamplopi. Tapi faktanya, ada ratusan ribu amplop terjaring ditemukan, saat Bowo, anggota tim pemenang pemilu dari Jokowi-Ma’ruf Amin, terjaring OTT KPK.
Romy, Ketua PPP, ketika di OTT KPK juga didapati ada amplop. Begitu pun saat ruangan kerja Menteri Agama diperiksa dalam kaitannya dengan kasus OTT Romy, ada amplop berisi uang tunai yang didapatkan dari ruangan kerjanya. Yang tak kalah heboh, Luhut, Menko Kemaritiman juga “main” amplop, videonya viral ketika ketahuan memberi amplop Kiai Zubair.
Ketiga pihak dalam kasus di atas, infected dan punya kaitan dengan proses pemilu. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan sebagai dasar alasannya, yaitu; pertama, ketiganya punya relasi dan kaitan erat dengan Jokowi, baik dalam kapasitas sebagai presiden maupun capres 01 yang akan mengikuti Pilpres 2019; kedua, semua kasus di atas terjadi dalam periode kampanye pilpres maupun pileg; ketiga, ada Bowo dan Romy adalah pihak yang menjadi bagian langsung dari Tim Pemenangan Nasional dari Jokowi-Amin Ma’ruf; serta Lukman dan Luhut adalah anggota kabinet dari Presiden Jokowi.
Pada kasus Bowo Sidik Pangarso, ada ribuan amplop, tepatnya, ada sekitar 400 ribu amplop yang disimpan dalam 82 kardus dan 2 (dua) kontainer, ternyata ada “cap jempolnya”. Pada OTT itu, KPK juga mengamankan barang bukti uang tunai sebanyak Rp 8 miliar dalam pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000. Salah satu media menyatakan uang pecahan itu telah dikemas di dalam amplop sejumlah ratusan ribu amplop seperti di atas.
Ada 2 (dua) hal menarik lainnya, yaitu: pertama, KPK menegaskan bahwa di seluruh amplopnya terdapat “cap jempol” ketika membongkar tiga kardus yang berisi uang puluhan ribu. Kita sangat mafhum, “cap jempol” itu diasosiasikan serta berindikasi sangat kuat mengarah dan berkaitan dengan simbol kampanye dari capres Jokowi; kedua, Bowo punya posisi strategis di dalam Tim Kampanye Jokowi-Amin Ma’ruf sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Tengah I kepengurusan DPP Golkar.
Jika menilik wilayah yang diduga akan terjadi masifitas serangan politik uang via amplop di Jawa Tengah di mana Bowo menjadi Ketua Bidang Pemenangan. Hal itu sungguh dapat dimengerti. Ada perbedaan sekitar 6 jutaan suara sah di antara Prabowo dan Jokowi di pilpres tahun 2014. Lebih tepatnya, Prabowo hanya mendapatkan 33,35% atau sebanyak 6.485.720 suara sah dan Jokowi meraup 66,65% atau sebanyak 12.959.540 suara. Inilah yang menjadi penyebab bahwa Jawa Tengah menjadi battle of killing field dalam memulung dan mendulang suara.
Amplop juga punya kaitan dengan kasus OTT atas Ketum PPP, Romahurmuziy, yang juga salah satu pendukung utama Capres Jokowi-Ma’ruf Amin. Pimpinan KPK menyatakan “Kami menemukan uang tersebut terpisah, ada yang di dalam amplop putih sebesar Rp17 juta, Rp50 juta, Rp70 juta dan beberapa amplop lain. Total kami berhasil mengamankan Rp156.758.000,”. Pendeknya, Romy dicokok KPK karena terima beberapa amplop dalam dugaan kasus suap untuk meloloskan dua pejabat melalui lelang jabatan untuk posisi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten Gresik.
Tak hanya itu, ada juga amplop yang disita dari ruangan Lukman Saifuddin yang menjadi Menteri Agama dari kabinet Presiden Jokowi. Juru bicara KPK menjelaskan “Kami sebenarnya juga menemukan uang-uang yang lain di ruang Menteri Agama … Jadi, sejak awal tim KPK sudah memisahkan mana uang dalam amplop, mana yang honor, dan mana yang bukan”. Uang yang disita dari laci meja kerja Lukman jumlahnya mencapai Rp 180 juta dan USD 30 ribu. KPK meyakini, uang dan amplop yang disita diduga berkaitan dengan kasus yang OTT atas Romy, mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.
Yang menjadi menarik, mengapa korupsi di Kementerian Agama? Ada dugaan, korupsinya bukan sekadar keserakahan untuk mendapatkan uang saja tapi kementerian punya akses yang luas pada pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam, dan jaringan KUA. Kesemuanya itu punya relasi yang kuat dengan akses suara dalam pemilu yang potensial untuk dapat dikapitalisasi. Karena ada mayoritas para pemilih pemula dan anak-anak muda yang dapat digunakan untuk menaikkan elektabilitas. Pada konteks itu pula, Kepala Kantor Wilayah menjadi menarik untuk “dikuasai” karena Jawa Timur adalah salah satu lumbung suara.
Gara-gara amplop, Luhut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, kena itulah dan membuat kehebohan. Ada video yang beredar luas di mana Luhut memberikan amplop kepada Kiai Zubair Muntasor dan kemudian tak dapat terbendung serta menjadi viral di media sosial. Salam tempel dengan amplop itu dilakukan Luhut saat berkunjung ke Pondok Pesantren Nurul Cholil di Bangkalan. Tak jelas betul, apakah kunjungannya berkaitan dengan otoritas jabatannya, tapi itu dilakukannya di tengah masa kampanye pilpres.
Kehebohan terjadi tak hanya karena amplop putih yang diberikan Luhut saja tapi kemudian Luhut membisiki kiai, ada terdengar kosa kata “baju putih” kendati tak jelas betul apa maksudnya. Apakah itu berkaitan dengan baju putih yang ada kertas suara dalam kartu pilpres ataukah pesan untuk mengikuti imbauan Jokowi yang meminta pendukungnya untuk menggunakan baju putih di hari pemungutan suara. Namun, yang pasti, setelah itu, ada begitu banyak sinyalemen yang menuding Luhut tengah melakukan “politik uang”. Tentu saja, Luhut membantahnya.
Praktik penggunaan amplop untuk menyandera para pemilih agar menggunakan hak pilih sesuai kepentingan si pemberi bukanlah hal baru dalam sejarah pemilu di Indonesia. Amplop menjadi media sekaligus simbol dalam politik uang. Banyak pihak meyakini, ketiga kasus di atas adalah puncak gunung es dari masifitas terjadinya politik uang. Artinya, ada cukup banyak kasus lain yang belum dapat diungkap dan bahkan nyaris tak akan mampu diungkap KPK, termasuk oleh KPU dan Bawaslu sendiri.
Yang paling menarik, dua kasus yang diungkap KPK melalui OTT maupun indikasi “politik uang” yang dilakukan oleh Luhut, ketiganya adalah pihak-pihak yang berasal atau affiliated dengan Cawapres Jokowi dan Ma’ruf Amin. Pertanyaannya, apakah politik uang melalui amplop menjadi bagian dari sikap dan perilaku permisifitas dari Cawapres 01? Ataukah, kepemimpinannya lemah sehingga tidak mampu sepenuhnya mengontrol perbuatan koruptif dan kolusif dari jajarannya?
Situasi di atas menjadi menarik bila dikaitkan dengan kebiasaan Presiden Jokowi yang kerap membagi-bagikan sepeda dalam kunjungan kerjanya. Oleh karena itu, tidaklah heran, Bawaslu berkaitan dengan kampanye pemilu pernah menegaskan soal isu politik uang dengan menyatakan “Kami sarankan tidak bagikan sepeda, sembako, amplop”.
Di awal April 2019, Satgas Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) telah menerima 31 laporan terkait politik uang. Sebagian besar suap yang menjelma menjadi politik uang itu menggunakan amplop. Satgas menyebutkan, ada beberapa daerah di Indonesia yang telah teridentifikasi dalam laporan politik uang seperti Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan, Maluku, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Papua, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Pertanyaannya, ada berapa yang sudah diselesaikan, apakah sifatnya hanya kasuistik atau sistematis dan terstruktur; serta seberapa banyak yang tak terlaporkan?
Bukan hanya itu, PPATK menyebutkan, ada putaran uang yang luar biasa masif di sekitar pemilu serta juga ada modus operandi baru politik uang, bukan lagi membagi-bagikan uang tunai kepada para pemilih melalui amplop. Saat ini modusnya sudah berbeda dengan beragam.
Para peserta pemilu mayoritasnya sudah menyadari transaksi keuangan mereka bisa terekam oleh PPATK maupun penegak hukum. PPATK menyatakan modus itu salah satunya, membagikan asuransi kecelakaan atau kesehatan kepada masyarakat. Ada lagi siasat pelaku politik uang lainnya, uang sudah dicairkan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Bahkan, dua hingga tiga tahun sebelum pemilu digelar.
Yang pasti, amplop masih menjadi salah satu cara dalam melakukan politik uang. Hal itu dapat terjadi secara masif pada pemilih pemula dan masyarakat miskin serta pragmatis di pedesaan dan remote control area. Pemberian amplop dan berbagai upaya lain yang menyebabkan pemilih tidak merdeka dan tidak leluasa menentukan pilihannya adalah tindakan mengorupsi pemilu serta merusak proses demokratisasi.
Sumber: Kumparan
Editor: Robert