Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Jakarta – Sri Mulyani Indrawati meraih penghargaan Menteri Keuangan (Menkeu) terbaik Asia Pasifik dari Majalah FinanceAsia. Sri Mulyani meraih penghargaan tersebut untuk ketiga kalinya.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan FinanceAsia memberi gelar Menkeu terbaik kepada Sri Mulyani. Pertama, Sri Mulyani berhasil membawa perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik, dengan mencatatkan defisit anggaran terendah dalam enam tahun terakhir pada 2018 (1,7% dari Produk Domestik Bruto).

Kedua, di tengah pelemahan nilai tukar seiring perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Pemerintah bersama Bank Indonesia juga dinilai berhasil menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Ketiga, melalui program amnesti pajak yang diluncurkan pada tahun 2016-2017, Menkeu Sri Mulyani juga berhasil meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance). Keempat, Global Green Sukuk, kata Nurfrasa, Sri Mulyani juga mengantarkan Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menjual green bonds, surat utang yang digunakan secara spesifik untuk membiayai proyek-proyek untuk iklim dan lingkungan, yang terjual hingga US$ 1,25 miliar.

Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira mengapresiasi penghargaan Menkeu terbaik Asia Pasifik yang diraih Sri Mulyani, namun dia menilai alasan pemberian gelar tersebut perlu dikritisi.

“Jadi pertama kriteria defisit APBN mengalami penurunan secara konsisten itu klaim dari pemberi gelarnya. Cuma kita bisa melihat faktanya terjadi memang perubahan alokasi anggaran yang ternyata belum terlalu ideal,” kata Bhima kepada detikFinance, Sabtu (6/4/2019).

Bhima melanjutkan, kenapa defisit anggaran turun? Karena pemerintah melakukan efisiensi dalam hal ada yang dipotong jelang pemilu, subsidi dinaikkan kembali. Di sisi lain karena defisit anggaran mengecil ternyata berimplikasi terhadap dorongan dari belanja pemerintah subsidi anggaran masyarakat

“Mempengaruhi daya beli masyarakat. Jadi ada konsekuensi ekonomi kita hanya tumbuh lima persen. Nah ini sisi catatannya,” kata Bhima.

Kedua, defisit anggaran bisa ditopang rendah anggaran dengan alokasi yang cukup banyak ke infrastruktur, tapi masalahnya yang naik cukup tinggi itu justru belanja-belanja yang sifatnya konsumtif bukan infrastruktur. Kenaikannya cukup tinggi justru ada di belanja pegawai, kemudian belanja barang, dan justru ini menunjukkan meskipun defisit anggarannya mengecil tapi postur APBN-nya jadi kurang produktif.

Ketiga, soal kriteria bisa menjaga nilai tukar rupiah, padahal faktanya di 2018 dolar AS sempat Rp 15.200. Sekarang bisa menguat ke Rp 14.100 sampai Rp 14.200/US$ itu karena Indonesia bisa memberikan bunga di atas rata rata Asia Pasifik yaitu 8%.

“kita yang paling tinggi 8% ini yang menurut saya harus proporsional juga kita melihat kalau begini caranya kita pakai bunga yang mahal. APBN kita mungkin dalam jangka pendek ini masih dikatakan terkendali, tapi dalam jangka panjang bunga yang 8% itu termahal se-Asia Pasifik bunga utang ini bisa berbahaya bagi APBN kita karena ruang fiskal kita semakin sempit sebagian sudah untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang. Nah ini yang kita pahami bahwa ada risiko juga,” terang Bhima.

Keempat, kriteria pertumbuhan ekonomi dianggap bisa terjaga dengan baik. Menurut Bhima faktanya Indonesia mulai tertinggal dengan negara tetangga, salah satunya Vietnam yang pertumbuhannya di atas 6%. kemudian juga Filipina yang sudah di atas 6%.

“Ini menandakan apa? Menandakan bahwa dengan ekonomi sebesar indonesia kita hanya tumbuh 5% justru dikhawatirkan kita akan masuk ke dalam jebakan kelas menengah, 2030 kita nggak akan bisa jadi negara maju, jadi kita tidak akan maju sebelum kita mencapai usia yang kemudian tua. Tua sebelum kaya lah bahasa enaknya. Nah ini kan konsekuensi kita tumbuh 5%,” tutur Bhima.

Sumber: Detik.com
Editor: Robert