Pojok BatamPesawat masih baru. Jam terbang pilot dan kopilot pun cukup. Cuaca di jalur penerbangan juga cerah. Lantas, apa yang mengakibatkan pesawat Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang kemarin? Hingga tadi malam, penyebab kecelakaan yang menewaskan 189 penumpang itu belum juga terjawab.

Meski demikian, gejala ketidakberesan pesawat sebenarnya tampak sehari sebelumnya. Minggu malam (28/10), pesawat tersebut hendak bertolak dari Denpasar, Bali, ke Jakarta. Namun, beberapa penumpang melaporkan bahwa pesawat bermasalah. Mesin berkali-kali mati. Sistem pendingin di dalam kabin juga macet.

Salah satu penumpang yang merasakan masalah itu adalah Chonchita Caroline. Dia lantas menumpahkan keluhannya di akun Instagram-nya. Dia menyebutkan, suara mesin pesawat saat itu tidak seperti biasanya. Bahkan, sebelum terbang, penumpang sempat keluar pesawat karena merasa kekurangan oksigen. “Tanpa penjelasan awak kabin tentang masalah yang sebenarnya terjadi,” tulisnya.

Presiden Direktur Lion Air Edward Sirait membenarkan bahwa pesawat tersebut sempat mengalami masalah teknis di Denpasar. Namun, dia tidak menjelaskan masalah teknis tersebut. Dia hanya menyatakan bahwa masalah itu bisa diatasi teknisi. Karena dianggap layak terbang, pesawat tersebut kemarin tetap beroperasi.

Kenyataannya, beberapa saat setelah pesawat take off, pilot Bhavye Suneja menghubungi menara kontrol Jakarta. Dia meminta izin naik dari ketinggian 1.700 kaki ke 5.000 kaki karena ada masalah flight control. Sebelum komunikasi dengan menara kontrol terputus, pilot juga sempat mengajukan permintaan return to base (RTB).

Pesawat dengan regitrasi PK-LQP jenis Boeing 737 MAX 8 tersebut merupakan pesawat baru. Dioperasikan Lion Air sejak 15 Agustus 2018. “Pesawat dinyatakan laik operasi,” ujar Corporate Communications Strategic of Lion Air Danang Mandala Prihantoro kemarin (29/10).

Pesawat tersebut dikomandani Kapten Bhavye Suneja dengan kopilot Harvino bersama enam awak kabin. Danang menyatakan, kapten pilot mengantongi lebih dari 6.000 jam terbang. “Kopilot telah mempunyai lebih dari 5.000 jam terbang,” jelasnya.

Kepala Otoritas Bandara Wilayah I Kelas Utama Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Bagus Sunjoyo juga memastikan bahwa penerbangan pesawat Lion Air JT 610 telah sesuai dengan prosedur. Dari pengecekan, kondisi pesawat sampai take off sangat baik. “Itu dinyatakan dengan tanda pendaftaran maupun tanda kelayakan pesawat yang masih layak terbang,” ungkapnya di kantor crisis center Bandara Soekarno-Hatta kemarin.

Kondisi kru dan pilot juga tidak bermasalah. “Semua dalam kondisi fit dan lisensinya masih berlaku,” imbuhnya.

Cuaca di jalur penerbangan yang dilalui pesawat terpantau baik. “Sebelum pesawat terbang, BMKG menginformasikan prakiraan cuaca lengkap berdasar citra satelit, citra radar, maupun pengamatan cuaca bandara setempat dengan menggunakan automatic weather observation system (AWOS). Semua menyatakan cuaca dalam kondisi baik,” tegas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam rilisnya.

Kronologi

Pesawat Boeing 737 MAX 8 milik PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) take off dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, pukul 06.20. Tidak lama berselang, menara kontrol di Jakarta kehilangan kontak. Posisi terakhir pesawat berada di koordinat 050 49.727 S-1070 07.460 E atau di perairan utara Karawang, Jawa Barat.

Kepala Basarnas M. Syaugi menyatakan, pihaknya menerima informasi dari air traffic control (ATC) Jakarta bahwa pesawat JT 610 hilang kontak. “Saat itu pesawat ada di ketinggian 2.500 feet dengan kecepatan mencapai 340 knot,” jelasnya.

Basarnas segera memberangkatkan pasukan. Mereka menggunakan kapal laut dan helikopter. Sekitar 150 anggota dikerahkan. “Begitu sampai di lokasi, kami menemukan puing pesawat, pelampung, HP, dan beberapa potongan tubuh manusia. Itu lokasinya 2 nautical mile dari koordinat yang diberikan ATC.”

Nelayan, TNI, dan Polri membantu menyisir di permukaan. Basarnas juga mengerahkan tim penyelam. Kedalaman laut di lokasi itu mencapai 30-35 meter. Sayang, hingga kemarin, bangkai pesawat belum ditemukan.

Direktur Operasional SAR Bambang Suryoaji menambahkan, pihaknya akan menggunakan remotely operated vehicle (ROV) di KRI Rigel milik TNI-AL. “Untuk membantu menemukan bangkai kapal, ROV saja cukup,” tuturnya. Basarnas juga akan menggandeng kapal riset milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) KR Baruna Jaya I. Kapal tersebut difokuskan untuk mencari kotak hitam pesawat.

Deputi BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) Hammam Riza menuturkan, kapal riset Baruna Jaya I telah dilengkapi peralatan canggih untuk menemukan kotak hitam (black box) pesawat.

“Kami telah diminta KNKT dan akan koordinasi dengan Basarnas untuk melakukan operasi ini. Kapal Baruna Jaya I kami berangkatkan nanti malam (kemarin malam, Red) atau paling lambat esok pagi (hari ini, Red) dari Dermaga Muara Baru,” ungkapnya.

Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono menuturkan, bantuan peralatan dari Singapura telah tiba di Jakarta. “Singapura bawa alat yang lebih baik untuk mencari black box,” ujarnya tadi malam.

Kotak hitam tersebut diharapkan bisa menguak penyebab kecelakaan. Termasuk tujuan pilot meminta izin melakukan RTB. “Nanti kelihatan alasannya,” ujarnya.

Leave a Reply