JAKARTA – Pemerintahan Presiden Joko Widodo berencana mempercepat pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja demi melancarkan arus investasi di Indonesia. Namun undang-undang yang menggabungkan banyak peraturan jadi satu itu menuai banyak sekali kritik dari berbagai kalangan, terutama aktivis dan akademisi.

Beberapa pasal dalam Omnibus Law dianggap bermasalah karena memudahkan perizinan investasi, menyulitkan kelas pekerja, penghapusan AMDAL, hingga mengatur aktivitas pers. Saking bermasalahnya, bahkan kelompok buruh menyebutnya sebagai Omnibus ‘Cilaka’.

Selain dianggap bermasalah, Omnibus Law Ciptaker yang juga ramai diperdebatkan elite politik ini nyatanya tidak banyak diketahui masyarakat pinggiran ibu kota.

Rustiani seorang pemulung yang biasa mengitari bagian selatan Jakarta misalnya. Dia bahkan kesulitan mengeja Omnibus Law. Perempuan 60 tahun itu mengaku baru mendengar Omnibus Law saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

“Baru tahu ada yang begitu,” kata Rustiani.

Perempuan paruh baya ini hanya berharap pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat miskin. Dengan Omnibus Law, pemerintah diharapkan tak malah membuat orang-orang kecil menjadi tambah susah.

Saat ini, tanpa ada Omnibus Law saja Rustiani saja kesulitan membiayai hidupnya yang hanya seorang diri. Dari memulung, hasil yang ia dapatkan hanya Rp60 ribu seminggu.

“Kita rakyat kecil cuma pingin bisa beli kebutuhan hidup sama bayar kontrakan, itu ajalah, tolongin,” katanya.

Kalau pun Omnibus Law nantinya menciptakan lapangan pekerjaan, Rustiani menganggap dirinya bukan orang yang akan turut terdampak. Selain tinggal seorang diri, ia mengaku tak memiliki kemampuan dan kapabilitas yang cukup untuk bekerja selain memulung.

“Saya bisa kerja apa lagi kalau nggak mulung? Umur tua gini, yang penting bisa makan aja udah syukur,” ucapnya.

Selain Rustiani, Atun, seorang tukang sapu jalanan juga mengaku baru mendengar Omnibus Law. Meskipun tidak tahu, Atun berharap peraturan yang sedang digodok pemerintah itu bisa menyejahterahkan masyarakat, bukan justru membuat kaum pinggiran semakin terpinggirkan.

“Saya belum pernah dengar ya, tapi kalau bikin peraturan ya mbok jangan buat masyarakat tambah susah,” kata wanita 45 tahun ini.

Saat berbincang dengan CNNIndonesia.com soal hak pekerja dalam Omnibus Law, Atun terkejut saat diberitahu dalam draf aturan itu pekerja tidak lagi diperbolehkan mengajukan gugatan saat di-PHK sepihak dan tidak mendapat pesangon.

“Saya kan buruh juga, nanti bakal susah kalau di-PHK,” katanya.

“Pemerintah kan seharusnya berpihak ke rakyat, kalau begitu malah merugikan rakyat,” tambahnya.

Selain Atun, Vera (50) juga berpendapat serupa. Vera yang biasa berjualan kopi keliling menggunakan sepeda motor dan sering melewati gedung-gedung kementerian, berharap para pemangku jabatan dapat memperbaiki hidup rakyat miskin.

“Kadang kalau lewat gedung menteri atau lewat gedung dewan, saya mikirnya mereka kerja buat rakyat miskin biar hidupnya makmur, sejahtera,” ucapnya.

Perempuan asal Cirebon ini pun sama, tidak pernah mendengar Omnibus Law Ciptaker yang ramai diperbincangkan.
“Tidak, tidak pernah dengar saya,” katanya.

Editor: PARNA
Sumber: CNN Indonesia